”Emang kenapa? Masalah buat lo...?”
Agak tercengang saat aku mendengar kalimat pendek yang dilontarkan anakku yang berumur lima tahun saat merespon perintah neneknya untuk tidak bertengkar dengan sepupunya.
Lucu sekaligus miris. Lucu karena mimik mukanya memang lucu saat melontarkan kalimat itu sehingga membuat aku tertawa. Miris karena ada kosa kata seperti itu terlontar dari mulut anakku. Apakah anakku mengerti maksud kata-katanya itu, atau cuma asal njeplak saja?
Selidik punya selidik ternyata sinetron televisi-lah biang keladinya. Aku cermati, penggunaan bahasa dalam sinetron anak-anak saat ini cenderung lari dari kaedah bahasa yang baik dan benar. Namun sebetulnya hal tersebut masih dapat ditolerir asalkan konteks percakapan dalam adegan di sinetron tersebut memang mendukung. Tapi sayangnya, hampir semua dialog terutama antar anak-anak maupun remaja, seperti tidak mempedulikan hal itu .
Hal yang tak kalah parah adalah saat ini sinetron seperti tidak mengedepankan etika pergaulan yang sehat dan mendidik. Seorang anak dengan seenaknya meledek orang tua dengan kata-kata yang kasar, atau seorang bapak-bapak yang kesal mengumpat anak-anak dengan kata-kata yang kurang pantas di dengar, bahkan dalam sebuah sinteron bertema religi.
Film kartun Sinchan lain lagi. Beberapa cerita menggambarkan bagaimana tokoh kartun ini menipu kedua orang tuanya, bahkan sambil tertawa-tawa. Atau digambarkan Sinchanmenendang orang tua. Meski diakhir cerita terdapat unsur punishment yang dialami Sinchan, tetapi seperti suatu pencitraan, the damage is already done. Anak-anak penonton film ini terlanjur melihat kelakuan tokoh kartun ini sebagai sesuatu yang sifatnya fun. Unsur edukasi diakhir cerita akhirnya seperti sia-sia, sekedar tempelan belaka.
Sementara logika dalam sinteron di Indonesia seakan tidak penting lagi. Unsur hiburan ditampilkan dengan hiperbolik. Kadang-kadang diluar jangkauan akal sehat. Bagaimana mungkin seorang anak bisa tiba-tiba memiliki kemampuan luar biasa, seperti terbang.
Patut dicermati di sini bahwa (meski belum ada survey) bisa dikatakan penonton televisi, terutama sinetron dan film-film adalah anak-anak dalam usia perkembangan awal.
Dalam perkembangan seorang anak, rentang usia 1 – 3 tahun --sebagian mengatakan hingga usia 5 tahun, disebut masa Golden Years. Dalam kurun tersebut terdapat kecenderungan meniru sikap, tingkah laku, atau perkataan yang diperoleh dari beragam sumber, baik tokoh ataupun figur, termasuk tokoh yang dilihatnya di layar kaca. Hart & Risley mengatakan, sejak umur 2 tahun anak-anak memproduksi 338 ucapan yang dapat dimengerti setiap jam, cakupan lebih luas adalah antara 42 sampai 672. Sementara anak usia 2 tahun ke atas dapat menggunakan 134 kata-kata dengan rentangan 18 sampai 286.
Proses tersebut diperoleh seorang anak, selain dari stimulus membaca dan menulis, juga dari proses mendengar dan melihat/menonton (terutama televisi) yang berpengaruh secara signifikan.
Seorang anak sering diibaratkan secarik kain putih. Ia akan merah jika ditulis dengan tinta merah, ia akan hitam ataupun biru, tergantung keinginan siapa yang menorehkannya. Seorang anak dapat dengan mudah menyerap setiap kata-kata yang didengar. Ia kemudian dapat menirukan begitu saja baik ucapan, sikap maupun perbuatan.
Bayangkan jika kosa kata dan perilaku yang lebih banyak diserap anak-anak tersebut sebetulnya belum layak didengar atau dilihat. Sehingga tanpa adanya pengarahan yang baik, sesuatu hal yang seharusnya tidak patut akan diserap mentah-mentah dan lambat laun terinternalisasikan menjadi norma-norma yang dianggap benar dalam dirinya.
Dalam kondisi tersebut jangan heran jika ke depan akan sulit bagi remaja untuk berbahasa dengan baik, benar dan bertingkah laku santun. Atau mungkin saja lama-kelamaanunsur-unsur bahasa kurang baik akhirnyalebih banyak diserap dan dianggap sebagai bahasa baku karena seringnya digunakan dan telah menjadi bagian dari percakapan secara umum. Norma dan etika? Menjadi nomor sekian.
Jadi siapa yang patut disalahkan akhirnya? Televisi-kah? Penulis naskah sinetron? Atau orang tua dan guru, kah? Sulit menjawabnya. Semua pasti punya argumentasi sendiri yang sulit dibantah, untuk mengelak semua tudingan.
Pujangga besar modern Lebanon, Kahlil Gibran menuliskan:
”Engkaulah busur asal anakmu, anak panah hidup melesat pergi. Sang pemanah membidik sasaran keabadian. Dia merentangkanmu dengan kuasanya, hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat,”
Jelas, orang tua, menurut Gibran, memang tidak berhak menentukan masa depan anaknya. Tetapi setidaknya orang tua dapat mengarahkan si anak (yang dianalogikan sebagai panah) tetap untuk mencapai sasaran kehidupan (dengan paradigmanya sendiri) yang lebih baik.
Seorang anak akan berkembang dengan baik jika faktor keluarga, lingkungan bermain, dan sekolah saling bersinergi. Namun sebetulnya keluarga merupakan filter yang paling ampuh dalam mempengaruhi perkembangan seorang anak. Keluarga merupakan peletak pondasi kokoh terhadap berbagai pengaruh yang akan diserap dan dicerna si anak dalam proses perkembangannya.
Karena itu orang tua harus mau mendampingi anak setiap saat di masa perkembangannya, terutama siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar. Orang tua, harus memaksakan diri mengetahui dengan siapa anak bermain, dan apa yang ditonton si anak. Bahkan secara tegas menjelaskan sesuatu hal itu salah atau benar.
Jika saja Kahlil Gibran masih sempat melihat riuh rendahnya dunia hiburan, serta implikasinya bagi pendidikan anak-anak dewasa ini, mungkin ia masih mau diminta untuk merevisi tulisannya dan sedikit menyesuaikan dengan konteks modern --yang dengan akselerasinya, sudah jauh melampaui apa yang pernah dipikirkan Gibran (mungkin saja saya salah).
Atau malah justru Gibran yang dengan enteng akan bertanya.. “Emang kenapa? Jadi masalah buat lo...?”
Nah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H