Kata orang Bapakku mirip pak Harto. Lama kupandangi, eh, benar juga… Seperti kakak adik saja. Dulu, sewaktu Presiden Soeharto menjamu tamu kenegaraan Pangeran Norodom Sihanouk, aku bilang ke bapakku.. “Wah.. kayak kembar siam tiga tuh, tapi beda nasib".
Bapakku cuma tersenyum.
Bapakku adalah Pegawai Negeri Sipil di PJKA sebuah instansi pemerintah -yang kata orang, memiliki jabatan lumayan basah. Diukur dari apa aku sendiri gak tau. Yang pasti, bersama bapak dan ibuku aku gak pernah merasakan kekurangan makan tapi juga tidak berlebihan. Kami pun pernah makan nasi dicampur garam dan kelapa parut yang dikepal-kepal sewaktu aku kecil. Anehnya kami semua gak merasa kita kekurangan. Mungkin karena terbiasa yaa.
Untungnya roda kehidupan pun berputar.
Pernah aku datang ke kantor bapakku. Stafnya dengan menyelidik bertanya… ‘Katanya lagi bangun rumah baru ya?’ atau ‘Mobilnya sudah ganti belum?’..  begitu beberapa pertanyaan yang terlontar. Antara kaget dan jengkel, aku jelaskan bahwa rumah kami masih di kompleks PJKA dan tidak  benar kalau kami lagi bangun rumah. Begitu juga soal mobil… “Mobil yang dipake masih mobil kantor, kok", jelasku. Orang itu pun ngeloyor.  Aku akhirnya bilang ke bapakku..
Bapakku cuma tersenyum.....
Bagiku Bapak adalah figur demokrat sejati yang agamis dan jujur. Beliau tidak pernah memaksaku mengikuti pilihannya ataupun kehendaknya. Waktu aku kuliah, dia hanya berpesan agar serius. Untungnya saat itu aku dapat Universitas Negeri di Bandung yang biayanya terjangkau untuk PNS seperti bapakku. Selepas kuliah, bapakku menawariku, apakah aku mau masuk PJKA atau Departemen Perhubungan. Aku menjawab "enggak lah.. Saya  mau usaha sendiri, "
Lagi-lagi bapakku cuma tersenyum......
Bertahun-tahun kemudian, kondisi kesehatan bapak ku selalu memburuk dan harus bolak-balik opname di rumah sakit. Puncaknya tahun 2006 lalu, beliau mulai  limbung. Darah tingginya kumat. Aku temani beliau tidur. Aku ajak beliau ke dokter atau rumah sakit.
Kali ini ia menolak. Aku paksa dan terus aku ajak opname, tetap saja ia tidak mau. Ia tidak ingin menyusahkan siapa-siapa lagi katanya. Ia merasa waktunya sudah dekat namun aku tetap saja berusaha mengajaknya ke rumah sakit.
Bapakku cuma tersenyum.......dan itulah senyum terakhirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H