[caption id="attachment_99506" align="alignleft" width="612" caption="Nahadi, Dr., M.Si., M.Pd. "][/caption] Nahadi, boleh jadi saya pertama kali mendengarnya saat ingar-bingar pemilihan wali kota (Pilwalkot, sekarang mah pemilukada) tahun 2008 lalu. Belakangan saya tahu, Nahadi itu ternyata dosen UPI, Universitas Pendidikan Indonesia, almamater saya. Yang membuat saya kaget, ternyata Nahadi merupakan suami dari dosen saya, Farida Sarimaya. Kalau saya menuliskannya sore ini sambil menunggu orang motokopi di Violet, ini semata-mata buat mengisi waktu di sela motokopi tadi, juga beberapa "tugas" lain, hehehe.. Saya menulis untuk berbagi dan -yang utama- membiasakan kembali menulis. Meminjam perkataan mentor saya di dunia pemberdayaan masyarakat, Dwi Joko Widianto, menulis itu cara belajar, belajar mengorganisasi pikiran. Hmm, konon Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya." Benar juga dia, lagi-lagi mengutip Mas Dwi, heheh... Kembali ke Nahadi, saya kaget juga melihat penampakannya. Suerr tak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Perawakannya kecil, mudah senyum, dan -ini yang benar2 jauh dari perkiraan saya- jauh dari kesan politikus yang suka meledak-ledak. Dia biasa saja, jauh dari kesan ambisius. Malah, saat pengurus demisioner merancang ajuan pengurus baru Ikatan Alumni (IKA) UPI, Nahadi dengan suara datar mengatakan, "Saya di situ saja, anggota bidang saja. Tidak usah di atas (maksudnya, nulis namanya jangan nomor satu, heheh)." Belakangan, penampakkan ini memunculkan pertanyaan baru. Kok, bisa Nahadi menjadi calon wakil wali kota? Jawaban itu baru saya dapat hari ini. Begini ceritanya: "Pertanyaan itu datang dari banyak orang," ujar Bu Ida, begitu saya memanggil Farida Sarimaya, istri Nahadi, mantan calon wakil wali kota tadi. "Tadinya si Akang bukan calon wali kota," tambahnya. Ya iya lah tadinya pasti bukan, hahahah.. masak ada orang dilahirkan dengan embel2 "calon" hahahah.. Maksudnya, dia tidak mencalonkan diri jadi wakil wali kota. Keputusan Nahadi menjadi wakil wali kota ternyata kurang dari satu hari, sangat singat malah: terentang dari Maghrib sampai pukul 23.00 malam yang sama. Wow! Oya, saya menjadi agak tidak kaget Nahadi jadi calon wali kota setelah tadi siang merapikan curriculum vitae-nya di laptop saya. Keterlibatan Nahadi di berbagai organisasi sejak mahasiswa menjadi modal politik yang besar. Ini analisis saya lho.. Hanya dalam hitungan jam, lanjut sang istri, keputusan itu diambil. "Kami Bismillah saja,"Â ujarnya mengenang suatu malam di tahun 2008. Kok bisa? Ya, genderang perang sudah ditabuh seorang mantan birokrat Kota Bandung, Hudaya namanya. Dua pekan mencari pendamping, Hudaya menyerah. Beberapa nama yang sempat "dilamar" tak bersambut. Masuk dalam daftar lamaran Hudaya antara lain ustad muda Aam Amirudin. "Saat ini saya belum berpikir terjun ke politik. Saya berbakti untuk pendidikan, sosial, agama," Farida menirukan ucapan pengisi siaran agama di sebuah stasiun radio itu. Farida pula yang mendapat tugas menjadi penghubung sang ustad. Asal tahu saja, Hudaya juga sempat melamar artis sinetron. Lagi-lagi gayung tak bersambut. Yang menarik, Hudaya tak sebentar bermesraan dengan PKS, partai pemenang pemilu di Kota Bandung. Sayang, upaya jor-joran sang mantan pejabat tak berkenan di petinggi partai. Partai Islam ini lebih memilih seorang dosen ITB, Taufikurahman. Dan tentu saja menyisipkan kader andalannya, Abu Syauqi. Belakangan, perpaduan begawan lembaga sosial dan akademisi ini kandas di tangan incumbent. Dada Rosada yang kemudian melenggang menjadi orang nomor satu di Kota Kembang. Begitulah politik. Begitulah garis tangan Nahadi, konsultan politik Hudaya yang malah direkrut menjadi pendampingnya di pilwalkot. Saya percaya, menjadi calon wakil wali kota bukan pilihan Nahadi. Doktor dengan dua gelar master ini maju karena tak mungkin menolak menjadi pendamping Hudaya. Nahadi yang sempat menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung ini dianggap menjadi pilihan terbaik. Banyak kalangan menilai Nahadi merupakan sosok pemimpin masa depan. Dalam perjalannya, banyak orang mendukung Hadi, akronim dari Hudaya-Nahadi, bukan karena amunisi berlebih sang kontestan. Mereka mendukung karena sebuah harapan akan hadirnya sebuah babak baru Kota Bandung. "Ada seorang ibu yang menjual berlian untuk disumbangkan ke tim Hadi," kenang Farida. Ini belum termasuk inisiatif membuat pin, stiker, bendera, dll dari kocek para pendukung. Saya sulit menjelaskan lebih detil. Saya hanya teringat beberapa fragmen sejarah, bahwa ada semacam panggilan jiwa bagi mereka yang sudah lama tertekan untuk bangkit mendukung seseorang yang diyakininya mampu menjadi penyelamat masa depan. Ada Yesus, ada Samin, ada banyak lagi yang lain. Kalangan ini menganggap telah datang Ratu Adil, dia yang membawa ke gerbang harapan. Apakah Nahadi masuk kategori itu? Saya tidak tahu. Dalam benak saya, akan tampak kekecewaan pada raut Nahadi atau Farida ketika mengingat peristiwa itu. Ternyata tidak. "Kami ikhlas," kata Farida. "Kami tidak merencanakan. Ini garis hidup yang harus kami tempuh. Sebuah pelajaran, dan banyak hikmah," tambahnya. Tentu, saya tak perlu banyak mengurai cerita sang mantan calon wali kota ini, juga Bu Ida. Karena mereka sendiri yang akan menuliskannya menjadi sebuah, atau dua buah, buku. Saya bilang, "Tak perlu memikirkan pasar, yang penting adalah menjadikan buku sebagai pembelajaran politik. Ini otentik sehingga lebih presisi ketimbang perkiraan lembaga survei."Â Bu Ida setuju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H