Masalah pengelolaan sampah di negeri ini seakan tidak ada habisnya untuk dibahas, apalagi diselesaikan. Peningkatan volume sampah juga menjadi keniscayaan yang harus dihadapi. Peningkatan populasi manusia dan pola konsumsi masyarakat yang besar menjadi salah satu penyebabnya.
Indonesia pada tahun 2019 diperkirakan akan menghasilkan 67 juta ton sampah yang didominasi oleh sampah organik. Di daerah asal penulis , Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, massa sampah yang tertampung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Wonorejo, Kecamatan Selomerto mencapai 70 ton setiap harinya.
Pengelolaan sampah di TPA Wonorejo masih terganjal oleh beberapa hal. Diantaranya adalah sampah organik dan nonorganik yang tercampur, ketidakcukupan sarana dan prasarana, serta sistem pengolahan  yang tidak mampu menangani volume sampah yang besar. Ketiganya berawal dari hulu aliran sampah, yaitu masyarakat dan pengelolaan di tingkat desa/kelurahan, juga hilir alirannya, yaitu TPA itu sendiri.Â
Masalah yang ada pada rantai panjang pengelolaan sampah tersebut disebabkan oleh empat indikator, yaitu kurangnya pengawasaan terhadap UU dan Perda yang mengatur pengolahan sampah, anggaran desa yang tidak tepat guna, kurangnya pendidikan tentang lingkungan hidup kepada masyarakat, serta sistem pengolahan sampah di TPA yang masih buruk.
Empat indikator tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut. Pertama, kurangnya pengawasan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan sampah dan lingkungan hidup.
Fungsi legislasi yang dimiliki DPRD telah nyata berjalan dengan hadirnya Perda Kabupaten Wonosobo No. 4 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Sampah, begitu juga di tingkat pusat dengan ditetapkannya UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan masih banyak lagi.
Fungsi Anggaran juga secara otomatis dijalankan dalam proses penetapan peraturan tersebut. Tetapi yang kurang optimal adalah pengawasan terhadap peraturan dan kebijakan yang sudah dibuat, sehingga penerapannya tidak dirasakan oleh masyarakat luas.
Kedua, anggaran desa yang tidak tepat guna. Menurut keterangan Mujiyono, Kasi Kebersihan dan Pengolahan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wonosobo, DPRD bersama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) telah memberikan kebijakan dan anggaran kepada desa/kelurahan untuk secara mandiri bersama masyarakat mengelola sampah di wilayah masing-masing. Hal ini didasarkan pada Pasal 8 ayat (3) Perda Kabupaten Wonosobo No.4 Tahun 2016.
Praktiknya, Pemerintah Desa mengalokasikan anggaran tersebut untuk membeli kendaraan pengangkut sampah. Pemerintah Desa sah-sah saja membeli kendaraan pengangkut sampah, namun pengangkutan sampah semata-mata hanya akan memindahkan masalah (sampah) dari desa ke TPA. Alhasil, TPA menjadi kesulitan untuk menampung  dan mengola sampah karena berbagai kendala.
Sebaiknya Pemerintah Desa mengalokasikan anggaran untuk membuat dan menjalankan program pengelolaan sampah yang berkelanjutan dengan mengadaptasi kondisi lokal dan kebutuhan masyarakat.
Program-program yang bisa diterapkan antara lain, membentuk Kelompok Pengelola Sampah Mandiri (KPSM) di tingkat desa sebagai komponen penggerak, membentuk usaha kerakyatan berbasis daur ulang sampah untuk mendapatkan keuntungan secara finansial, membangun Bank Sampah Terpadu yang dikelola olah KPSM, dan menjalankan program "Pilah dan Pilih Sampah".
Program ini menjadi yang utama karena disinilah hulu aliran sampah berada. Pembiasaan kepada masyarakat untuk membuang sampah sesuai pada tempat dan jenisnya perlu dilakukan secara bertahap melalui pembinaan oleh Pemerintah Desa dan pendidikan lingkungan hidup dari DLH. Dimulai dari tingkat rumah tangga atau Dawis (Dasa Wisma).
Seluruh program pengelolaan sampah yang berkelanjutan tersebut memastikan keterlibatan masyarakat secara menyeluruh dan membutuhkan pengawalan dari masyarakat sendiri.
Ketiga, kurangnya pendidikan tentang lingkungan hidup yang diberikan kepada masyarakat. Kesadaran masyarakat akan pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan sampah tidak akan terbentuk tanpa adanya pendidikan dan pelatihan yang efektif dan konsisten.
Pihak DLH menerangkan bahwa sosialisasi dan pendidikan hanya dilakukan jika ada permintaan dari pihak tertentu. Pernyataan ini menunjukkan bahwa DLH sebagai pihak yang berwenang masih pasif dalam memberikan pendidikan.
Sebaliknya, penulis berpendapat bahwa pemerintah melalui DLH harus aktif dalam mendidik masyarakat luas melalui berbagi pendekatan.
Pendekatan yang dinilai efektif adalah pendekatan agama. Pendekatan ini mampu membentuk kesadaran masyarakat tentang lingkungan dan sampah karena nilai-nilai tersebut ada dalam ajaran agama.
Teori Otoritas Weber (1930) menyatakan bahwa ide, spirit dan pola pikir yang berasal dari doktrin agama dapat membentuk perilaku masyarakat.
Hal ini karena agama telah meresap kuat dan menjadi keyakinan yang mengakar. Artinya, doktrin yang berdasar dari firman Tuhan memiliki peran penting dalam membentuk pola pikir manusia untuk mencintai alam dan lingkungannya.
Oleh karena itu, Dinas Lingkungan Hidup harus merangkul seluruh pemuka agama untuk bersama-sama mendidik masyarakat agar mau menjaga lingkungan dan mengelola sampah secara konsisten.
Indikator keempat adalah sistem pengolahan sampah di TPA yang masih buruk. TPA di Indonesia pada umumnya masih mengadopsi sistem pembuangan terbuka (open dumping), termasuk TPA Wonorejo, Kabupaten Wonosobo. Sistem open dumping ini menimbulkan banyak dampak negatif, terutama bagi lingkungan dan masyarakat sekitar TPA.
Timbulnya bau, air lindi yang tersebar, dan gas metana yang dihasilkan dapat mengganggu kesehatan masyarakat, merusak lingkungan, mencemari mata air, hingga memunculan konflik sosial. Contohnya saja pada tahun 2017, puluhan warga Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Selomerto, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Terdampak Tempat Pembuangan Akhir mendatangi gedung DPRD Wonosobo untuk mengajukan tuntutan terkait dampak TPA bagi warga setempat. Warga mengaku keberadaan TPA Wonorejo cukup mengganggu, utamanya dampak bau dan limbah cair.
Berbagai dampak negatif yang muncul menunjukkan bahwa pengelolaan sampah belum digarap secara baik. Faktanya hanya 43.49% dari total sampah organik di TPA Wonorejo yang diolah melalui metode composting (pembuatan kompos). Metode pengolahan ini hanya dapat diterapkan pada sampah organik.
Sedangkan sampah anorganik hanya ditata dan ditimbun tanpa ada proses lebih lanjut. Tantangan lain dari metode  composting ini adalah  lamanya waktu dan terbatasnya lahan pengomposan yang tidak sebanding dengan volume serta intensitas sampah organik yang datang.
Mengingat sektor pertanian, perkebunan, dan aktivitas pasar menjadi sektor utama penghasil sampah organik di Wonosobo. Dalam persoalan seperti ini, kehadiran DPRD di tengah-tengah  masyarakat sangatlah penting.
Seperti halnya masyarakat Wonorejo yang beraudiensi dengan DPRD.  Masyarakat punya harapan  besar pada lembaga ini untuk  menjadi pihak yang memecahkan masalah mereka melalui fungsi legislasi dan pengawasannya.
Masalah pengolahan sampah ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi Dinas Lingkungan Hidup sebagai lembaga pengelola TPA. Upaya yang dapat dilakukan oleh DLH adalah memperbaiki sistem pengelolaan sampah agar "ramah lingkungan" dan berkelanjutan dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi tepat guna di TPA. Para akademisi dan inovator lokal juga harus digandeng untuk turut andil dalam pembenahan sistem pengolahan menuju sistem berbasis teknologi dan inovasi.
Melalui upaya ini, TPA diharapkan mampu menyelesaikan masalah, bukan hanya menampung dan menimbun masalah. Lebih dari itu, sistem pengolahan berbasis teknologi yang berkelanjutan akan memberikan pemasukan bagi daerah melalui berbagai produk olahan yang dihasilkan. Contohnya saja kompos, biosolar, paving, aspal dari sampah, biji plastik daur ulang, dan masih banyak lagi.
Empat indikator tersebut dipecahkan bersama-sama oleh sekurangnya empat komponen, yaitu DPRD, DLH, Pemerintah Desa, dan masyarakat. Seluruh komponen tesebut terintegrasi membentuk sebuah sistem pengelolaan sampah. Penulis menyebutnya sebagai "Jejaring Pengelolaan Sampah".
Dalam sistem ini, masyarakat menjadi pusaran utamanya. Setiap komponen tersebut memiliki tugas dan fungsinya masing-masing namun tetap saling berkoordinasi secara intensif.
Dengan berjalannya sistem ini, diharapkan masalah pengelolaan sampah dan perlindungan lingkungan hidup dapat diselesaikan secara komprehensif. Masalah pengelolaan sampah seperti ini bukan hanya terjadi di Wonosobo, tetapi ada di wilayah lain.
Lembaga legislatif dengan tiga fungsi saktinya diharapkan memberi payung hukum kepada sistem ini melalui undang-undang dan menjadikannya sebagai Program Legislasi Nasional. Pada akirnya, Jejaring Pengelolaan Sampah sebagai alternatif solusi mampu diterapkan dan dirasakan hasilnya oleh manusia dan ekosistem di bumi. Semua ini perlu sebagai wujud komitmen parlemen dalam menjaga lingkungan hidup.
Daftar Pustaka
Bryson, Jhon M. 2007. Strategic Planning For Public and Nonprofit Organizations, Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial, terj. M. Miftahuddin,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar  hlm.13
Djazuli,Saefudin. 2014. "Konsep Islam Tentang Pelestarian Lingkunan Hidup" dalam    Jurnal Bimas Islam 7, No.2 , hlm. 337-352
Febriani, Nur Arfiyah. 2012. Â "Kitab Suci Tentang Manusia dan Lingkungan" dalam Jurnal Bimas Islam 5, No. 4 , hlm. 647
Kementrin Agama RI, Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta ( 2012), hlm. 15
Perda Kabupaten Wonosobo No. 4 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Sampah
UU-RI Â No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah
UU-RI Â No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Website
http:// www.aa.com. Diakses pada tanggal 23 Juli 2019.
http// www.kebumenekspres.com. Diakses pada tanggal 23 juli 2019.
Sumber Lain
1.Wawacara dengan Mujiyono, Kasi Kebersihan dan Pengolahan Limbah B3 Â Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wonosobo tanggal 22 Juli 2019.
2.  Wawancara dengan Wisnu Ibed  Pradana, Sekretaris Komisi C DPRD Kabupaten Wonosobo tanggal 22 Juli 2019.
3. Â Wawancara dengan Lukmanto, Pengelola TPA Wonorejo tanggal 20 Juli 2019.
4.  Wawancara dengan Watik, Ketua Aksi Pendekar Peduli Lingkungan (APPel)     tanggal  27 Juli 2019.
5. Â Wawancara dengan Suwito, Ketua Paguyuban Penggiat Lingkungan Asri (Paplink) tanggal 27 Juli 2019.
6.  Pemaparan oleh Aldhiana kusumawati, Kasubag  Keuangan dan Aset Desa Bagian Pemerintahan Setda Kabupaten Wonosobo tanggal 5 Januari 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H