Duduk santai menikmati makanan dan minuman yang enak sambil mengobrol bersama teman adalah kegiatan yang sering dilakukan oleh anak muda. Nongkrong menjadi istilah yang digunakan untuk menyebut kegiatan tersebut.
Ketika menyebut kata nongkrong, kafe dengan interior estetik dan barista yang siap melayani pesanan kopi langsung terbayang. Padahal, nongkrong tidak mesti dilakukan di kafe. Tetapi sekarang sudah tidak perlu lagi mengelurkan uang yang terlalu banyak, karena sudah menjadi tren nongkrong di angkringan dengan harga yang relatif lebih murah di bandingkan di kafe.
Kata angkringan sendiri berasal dari Bahasa Jawa, yaitu angkring atau nangkring, yang berarti duduk santai atau duduk bebas . Sejarah angkringan diawali oleh Mbah Karso atau Djukut yang berasal dari Desa Ngerangan, Bayat, Klaten. Pada awalnya Mbah Karso merantau ke Kota Surakarta pada tahun 1930-an.
Keberhasilan usaha angkringan untuk berekspansi ke kota-kota lain di Indonesia tidak terlepas dari sejumlah keunggulan usaha angkringan. Angkringan pada umumnya menjajakan makanan dan minuman dengan harga cukup murah, pelanggan angkringan juga bebas untuk duduk berjam- jam tanpa harus khawatir diusir oleh pemilik usaha angkringan. Pelanggan juga dapat menikmati makanan dan minuman dengan duduk bebas (satu kaki diangkat), atau jika memungkinkan sambil tiduran, dan tak jarang ada pertunjukan live musik juga.
Sejumlah angkringan juga dilengkapi dengan fasilitas seperti Wi-Fi, sehingga semakin membuat betah pelanggan angkringan. Keunggulan angkringan tersebut secara tidak langsung menjadikan angkringan bertransformasi tidak hanya sebatas bisnis kuliner saja, namun sudah menjadi ruang publik dan tempat terjadinya interaksi sosial untuk kelompok masyarakat tertentu, terutama masyarakat menengah ke bawah, atau masyarakat dengan daya beli terbatas, seperti mahasiswa, pelajar, dan bahkan karyawan kantor.
Hal ini mengingat angkringan merupakan ruang publik yang cukup egaliter, dikarenakan setiap orang dapat menikmati makanan dan minuman dengan harga cukup murah, serta dapat duduk berjam-jam dan bebas bersosialisasi tanpa adanya hambatan. Selanjutnya, sebagai ruang terjadinya interaksi sosial, adanya angkringan juga memungkinkan terjadinya kontak sosial dan komunikasi antar pelanggan angkringan tersebut, dan beberapa komunitas menjadikan sebagai tempat tongkrongan, atau workspace kedua mereka setelah kantor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H