PENIPUAN: KETURUNAN KEJAHATAN YANG BEREVOLUSI DARI TRIK JALANAN MURAHAN KE SISTEM DIGITAL YANG CANGGIH
Kita semua pasti tidak asing dengan yang namanya penipuan. Sebagian besar dari kita pasti setidaknya sudah pernah ditipu sekali dalam hidup kita, entah itu oleh orang asing atau mungkin orang-orang terdekat yang kita sangat percayai dalam hidup kita. Penipuan sendiri sebenarnya merupakan keturunan dari kejahatan, sang penjelajah waktu—yang sudah dibahas di tulisan sebelumnya. Penipuan secara teori lahir dari sifat ketamakan dan kerakusan yang dimiliki manusia, yang kemudian memicu manusia untuk membohongi dan memanipulasi orang lain agar tujuan mereka tercapai. Dan sehubungan dengan tujuan penulisan kali ini, penulis akan mencoba melakukan analisis sederhana terkait penipuan sebagai keturunan langsung si penjelajah waktu. Dimulai dari penjelasan lebih detail terkait bagaimana penipuan tercipta, perkembangannya dari jaman ke jaman, serta yang paling urgent, akan dijelaskan terkait langkah-langkah mengantisipasi bentuk-bentuk evolusi penipuan di masa kini.
Penipuan merupakan peranakan dari kejahatan, dan sebagaimana yang kita ketahui, kejahatan bisa terjadi karena faktor internal dan eksternal. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama, penipuan karena faktor internal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, yang mana ini berkaitan erat dengan kondisi psikologis, emosi, nilai dan moral yang dimiliki seseorang. Dalam penipuan, faktor internal sendiri sering dimaknai sebagai faktor dari si penipu itu sendiri, seperti kepribadian yang menyimpang, adanya hasrat dan ambisi yang begitu besar, atau experience pribadi sebagai korban yang pernah ditipu, dsb. Berbagai faktor inilah yang kemudian mendorong si pelaku untuk menipu orang lain. Mari menganalisis salah satu contoh faktor, yaitu adanya hasrat yang begitu besar. Tak dapat dipungkiri bahwa kita sebagai manusia secara alamiah pasti memiliki keinginan yang ingin dicapai dalam hidup, seperti uang, jabatan, dsb. Namun seringkali keinginan untuk mencapai hal tersebut tidak tercapai, yang mengakibatkan kebanyakan orang akan memilih jalan pintas, yakni memanfaatkan atau memanipulasi orang lain untuk mencapai tujuan mereka, mengabaikan nilai dan prinsip yang mereka miliki. Secara sederhananya, hasrat yang tak terkendali bisa menyebabkan seseorang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya.
Kedua, penipuan karena faktor eksternal. Faktor eksternal, sesuai dengan maknanya di KBBI yang berarti luar, diartikan sebagai faktor yang berasal dari luar diri seseorang. Dan ketika berbicara tentang faktor dari luar diri seseorang, maka kita sedang berbicara faktor lingkungan, sosial-budaya-ekonomi, dan hal lainnya yang sedari awal tidak dalam kendali seseorang. Dalam penipuan, faktor eksternal sendiri sering mencakup kemiskinan, lingkungan-nilai-norma yang menyimpang, serta lemahnya penegakan hukum yang dapat mendorong dan menciptakan tekanan pada seseorang untuk melakukan penipuan. Mari menganalisis salah satu contoh faktor, yaitu kemiskinan, kemiskinan sendiri merupakan masalah yang berdasar pada aspek sosial—ekonomi. Seseorang yang terjerat kemiskinan pada umumnya akan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Inilah yang kemudian menciptakan tekanan dalam pribadi seseorang, ketidakmampuan pribadi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menciptakan dorongan untuk melakukan perbuatan yang bisa menutupi hal tersebut, salah satunya adalah menipu. Dari contoh tersebut dapat ditarik sebuah penjelasan, bahwa muara akhir dari faktor eksternal adalah faktor internal, sebab masalah yang disebabkan oleh berbagai faktor akan memicu tekanan dan dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan kejahatan aka penipuan.
Setelah mengetahui indikator yang menyebabkan terjadinya penipuan, baik secara internal dan eksternal, maka yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana perkembangan penipuan sebagai salah satu keturunan sang penjelajah waktu aka kejahatan ini?
Penipuan sendiri sebenarnya merupakan salah satu keturunan kejahatan yang paling tua, hanya saja ia berkembang dan beradaptasi mengikuti perkembangan jaman. Dengan menggunakan metode waris dan eksploitasi—yang sudah disebutkan dalam tulisan sebelumnya, penipuan memanfaatkan berbagai aspek dalam kehidupan untuk kemudian berevolusi sekaligus menciptakan skema-skema baru untuk terus bertahan.
Jika kita membaca di beberapa situs maupun literatur asing, akan ditemukan jejak bahwa penipuan pertama terjadi di barat sekitar 300 SM. Hegestratos, seorang pedagang laut Yunani, mengambil polis asuransi terhadap kapalnya sekaligus kargo muatannya, polis itu dikenal dengan nama bottomry. Sistem polis ini yaitu, pedagang membayar uang muka di awal, dan ketika kapal dan kargonya telah sampai ketujuan dengan selamat, maka sisa uangnya akan dibayarkan sekaligus dengan bunganya. Jika sisa uang muka tidak dilunasi, kapal dan kargo atau barang senilai kargonya, diambil alih. Adapun jika kapal dan muatan kargonya tenggelam, maka polis tersebut tidak perlu dibayar dan seluruh kerugian menjadi tanggungan milik perusahaan asuransi. Sehubungan dengan penipuan awal yang tercatat dalam sejarah, Hegestratos mempunyai rencana licik, yaitu menenggelamkan kapalnya agar ia bisa mengklaim asuransi tersebut. Meskipun pada akhirnya, rencananya menjadi boomerang, sebab para kru kapal ternyata menyadari rencana licik Hegestratos. Hegestratos pada akhirnya mati tenggelam saat mencoba melarikan diri dari mereka (meskipun ada beberapa sumber yang menyatakan bahwa ia mati bunuh diri).
Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa Hegestratos melakukan penipuan didasari atas faktor internal, yaitu adanya hasrat dan ambisinya yang besar untuk mengklaim asuransi atas kapalnya. Bahkan, hasratnya ini berdampak buruk bagi orang lain, dimana ia sampai berpikiran jahat ingin menenggalamkan kru kapalnya sendiri untuk membuat manipulasi yang meyakinkan agar perusahaan asuransi terkecoh.