Mohon tunggu...
Ahmad Mursyid
Ahmad Mursyid Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

i'm so simple. http://themilleniumface.blogspot.com/ --- http://uchid.tumblr.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Globalisasi Vs Local Wisdom

18 Februari 2013   19:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:05 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Globalisasi adalah hilangnya sekat-sekat antar negara dengan tujuan utama liberalisasi pasar. Mengacu pada Konsensus Washington, WTO (World Trade Organization) kemudian dibentuk setelah perang dunia ke-II. Tujuannya jelas, yaitu untuk melanggengkan paham liberalisasi pasar dalam bentuk pengurangan atau bahkan penghapusan kuota dan tarif ekspor-impor. Ketika tarif dan kuota berhasil diminimalisir maka konsep globalisasi atau liberalisasi pasar akan berjalan mulus. Globalisasi ibarat pisau bermata dua, pada satu sisi sangat menguntungkan negara-negara maju seperti AS dan negara-negara eropa yang mempunyai kapasitas produksi yang banyak. Pada satu sisi, globalisasi sangat berdampak buruk bagi negara-negara berkembang khususnya negara tercinta Indonesia.

Indonesia tidak siap dengan konsep liberalisasi pasar, pasalnya kemampuan produksinya sangat rendah, kondisi pemerintahan yang tidak jelas, dan yang paling penting adalah masih banyak rakyat Indonesia yang pada hari ini “belum menikmati kemerdekaan” dalam artian belum sejahtera, tidak dapat mengakses fasilitas negara misalnya pendidikan, kesehatan, dan berbagai macam fasilitas yang lain. Akibatnya, masih banyak penindasan, rakyat miskin, konflik antar etnis, penggusuran di mana-mana, dan lain-lain. Dan yang paling memiriskan hati adalah, nilai-nilai kebudayaan Indonesia semakin direduksi oleh globalisasi.

Nilai-nilai budaya Indonesia yang telah berhasil direduksi oleh globalisasi sudah sangat banyak. Ambil contoh, nilai-nilai kebersamaan, kerjasama, dan gotong royong yang sekarang sangat sulit untuk kita temui lagi kecuali di pelosok-pelosok desa saja. Kehidupan di kota dan di desa sangat kental perbedaannya, kota dengan individualisnya dan desa dengan konsep gotong royongnya akan tetapi di desa pun sudah mulai dirasuki dengan teknologi modern. Sebenarnya, tidak menjadi masalah ketika teknologi masuk ke Indonesia karena teknologi adalah tools yang bisa membawa manfaat dan juga bisa membawa mudharat. Disinilah letak peran pemerintah untuk tidak membiarkan budaya kita terkikis oleh produk-produk asing. Salah satu contoh yang merusak moral bangsa adalah dunia internet khususnya situs-situs ‘porno’ yang dibiarkan begitu saja. Seharusnya pemerintah memblok situs-situs yang dianggap merugikan. Akan tetapi, itu mungkin hal yang dianggap biasa-biasa saja dan tidak pentingapalagi tidak menghasilkan keuntungan bagi birokrasi kita yang terhormat.

Contoh lain budaya kita yang telah terbawa arus globalisasi adalah budaya memberikan ucapan secara langsung atau minimal lewat kartu ucapan  ketika ada acara-acara besar keagamaan. Sekarang, hal tersebut jarang ditemukan lagi dan sudah digantikan dengan teknologi handphone (lewat sms). Implikasinya adalah interaksi dan tatap muka secara langsung antar sesama manusia sengaja untuk direduksi dan berujung pida pola hidup individualistik. Tentu hal inilah yang diinginkan oleh penjajah-penjajah asing yakni dalam bentuk penjajahan pikiran agar supaya nilai-nilai kemanusiaan diminimalisir dan memang sengaja diarahkan untuk menjadi robot-robot yang siap dirahkan ke mana-mana sesuai dengan kehendak penjajah. Inilah salah satu proyek neoliberalisme yang berorientasi pada penghilangan budaya-budaya nasional yang yang dianggap dapat menghambat proyek-proyek neolib.

Belum lagi kalau kita melihat produk-produk budaya lokal kita yang diklaim oleh negara tetangga kita (baca: Malaysia). Lagu Rasa Sayange, Batik, Reog Ponorogo, dan lain-lain tahun lalu sempat menjadi perbincangan hangat karena diklaim oleh negara Malaysia sebagai hak ciptanya. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan dan melestarikan budaya nasional kita diera globalisasi ini? Apakah kita akan terus menutup diri dari era globalisasi?Atau yang paling mendasar, apakah globalisasi itu merupakah sebuah keniscayaan? Ataukah sebenarnya, globalisasi itu ternyata hanya sebuah pilihan di antara pilihan-pilihan yang lain?

Konsep globalisasi sebenarnya merupakan sebuah konsep pembodohan yang dilakukan oleh negara adidaya Amerika Serikat berkedok berbagai kepentingan-kepentingan. Amerika sebagai negara maju yang perekonomiannya berbasis industri dan jasa tentunya membutuhkan banyak energi demi menjaga kelangsungan produksinya. Amerika sebenarnya masih kekurangan 60% energi dan bahan baku yang digunakan pun di impor dari negara-negara berkembang untuk tetap menjaga produksi yang dilakukannya. Liberalisasi pasar kemudian hadir sebagai logika pembenaran agar pasokan atau bahan baku dari negara-negara berkembang dapat di impor ke AS dengan harga yang murah. Begitupun dengan energi yang mencoba di ambil paksa oleh Amerika dari negara-negara timur seperti invasi yang pernah dilakukan ke Irak, mendukung Israel waktu menginvasi Afghanistan, semua itu dilakukan sebenarnya untuk menguasai sumber-sumber energi. Apalagi ketika birokrasi telah berselingkuh dengan pihak asing (Amerika), maka itu akan mempermudah penjajahan yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat.

Jadi bisa disimpulkan bahwa sebenarnya globalisasi bukan merupakan keniscayaan melainkan pilihan. Menurut saya, ada 3 pilihan dalam memandang globalisasi. Pilihan pertama, mengikuti arus globalisasi yakni dengan menerima segala produk globalisasi. Dampaknya sangat jelas sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Pilihan kedua, melawan arus globalisasi yakni dengan menolak semua bentuk produk kapitalisme misalnya, jangan menggunakan handphone, mobil, dsb, yang jelas hidup secara tradisional. Pilihan ketiga, yakni menggiring arus globalisasi yakni dengan memadukan antara produk globalisasi dengan kebudayaan lokan (kearifan lokal) dengan tetap tidak mereduksi nilai-nilai kebudayaan yang ada karena globalisasi adalah sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari tapi bukan berarti tidak bisa. Pilihan ketiga adalah hal yang tepat kita lakukan untuk tetap menjaga kebudayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Sebagai langkah awal, mari kita mulai dari diri sendiri.. peace!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun