'Rasa tidak Enak' yang saya maksud pada tulisan ini bukan pada makanan ataupun minuman.Untuk memahami apa yang saya maksudkan, saya contohkan seperti ini: kalau ada tman anda yang mengajak anda pergi makan ke suatu tempat, rasanya 'tidak enak' kita menolaknya. Itu konteks 'rasa tidak enak yang saya maksud.
Manusiawi memang jika manusia pernah (pasti pernah) mengalami 'rasa tidak enak' terhadap seseorang, entah teman dekat ataupun teman yang baru dikenal, saudara, kerabat, guru atau dosen, orang tua, dan tentunya ke orang yang lebih tinggi strata sosialnya daripada kita, bahkan terhadap apapun dan siapapun itu. Berbagai macam teori sosial yang pernah dilontarkan oleh tokoh-tokoh secara tersirat sebenarnya membahas persoalan ini. Ambil contoh, paradigma fakta sosial nya Emile Durkheim yang menyatakan bahwa manusia secara individu sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa karena ditekan oleh stuktur sosial dan pranata sosial dalam artian bahwa manusia dikendalikan oleh lingkungannya. secara tidak langsung, kondisi 'rasa tidak enak' seseorang muncul karena ada tekanan sosial, misalnya saja karena takut dikucilkan oleh orang disekitar kita.
Masih tentang Durkheim, fenomena bunuh diri (suicide) pun jika digali lebih jauh maka ada 'rasa tidak enak' di dalamnya. Berdasarkan jenis-jenis suicide yang dikemukakan Durkheim, kesemuanya itu sebenarnya mengarah ke 'rasa tidak enak' sehingga keputusan mengambil jalan pintas penyelesaian masalah dengan bunuh diri dilakukan. 'rasa tidak enak' karena tidak bisa mencapai cita-cita atau impian, 'rasa tidak enak' karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan semakin kerasnya aturan-aturan atau norma sosial yang disepakati, atau bahkan 'rasa tidak enak' terhadap anggota kelompok sehingga seseorang melakukan bunuh diri dengan alibi mengorbankan diri. Sebagai antitesa dari paradigma fakta sosial, Max Weber mengemukakan paradigma Definisi Sosial yang intinya menyatakan bahwa bukan lingkungan yang memepngaruhi seseorang tapi pada dasarnya individu itu kreatif melakukan apa saja yang diinginkannya. sebagai contoh, aturan taat lampu lalu lintas ada akan tetapi tetap saja selalu ada orang yang melanggar aturan tersebut. kalau kita mencoba mencocologikan dengan 'rasa tidak enak', seseorang yang melanggar lampu lalu lintas karena bisa saja ada keluarga yang sedang sakit dirumah sehingga kehadirannya sangat penting. lagi-lagi karena 'rasa tidak enak' terhadap keluarga. masih ada ribuan teori sosial (analisis terhadap interaksi yang ada) yang lain yang secara tidak langsung sebenarnya semuanya berkaitan dengan 'rasa tidak enak. lantas, masih adakah hal yang lain yang tidak berkaitan dengan 'rasa tidak enak'?
Dalam hal paling fundamental pun seperti hubungan dengan pencipta, manusia kerap kali melakukan ibadah (agama manapun) hanya semata-mata karena ingin mendapatkan prestise atau bahkan karena tidak enak terhadap lingkungan seperti tidak enak terhadap tmen yang melakukan hal yang sema sehingga dirinya merasa ketinggalan kalau tidak melakukan hal serupa, kegiatan apapun itu. padahal secara substansial, bukan itu tujuannya. yah,, itulah penyakit manusia modern saat ini, semua karena tidak enak. lebih ekstrimnya lagi jalinan persahabatan dilakukan atas dasar 'tidak enak'.
Mari kita melihat relitas kekinian, khususnya terhadap berbagai permasalahan yang ada di Indonesia ini, korupsi misalnya. jika kita menelusuri lebih jauh kenapa perilaku korupsi kian hari kian menjadi-jadi, maka akan ditemukan"rasa tidak enak di dalam nya. Korupsi terjadi karena motivasi yang berbeda-beda dari para pelaku korupsi (maaf, ini bukan pengalaman tapi hanya melihat berita-berita yang ada di TV. hehehe). motif bayar utang misalnya, itu karena ada "rasa tidak enak" terhadap si pemberi utang. motif memenuhi kebutuhan keluarga, itu karena ada "rasa tidak enak" sebagai kepala keluarga terhadap istri dan anak-anak nya jikalau kebutuhan mereka tidak bisa dipenuhi dan masih banyak motif-motif lain. masalah lain, misalnya nepotisme. sifat nepotis sebenarnya adalah pangkal dari korupsi. jikalau ada anaknya teman kita misalnya yang mau daftar sebagai PNS dan kita sebagai penentu kelulusan maka secara otomatis yang di prioritaskan untuk lulus adalah anak dari teman tersebut karena lagi-lagi "rasa tidak enak", begitupun di bidang lain semisal pemberian tender, pemilihan kepala daerah, bidang-bidang edukasi (kampus, sekolah, dan lain-lain). jadi, 'rasa tidak enak' sebenarnya telah merusak segalanya.
'Rasa tidak enak' menurut penulis timbul karena faktor pengetahuan yang kurang (tidak komprehensif) atau landasan epistemeologi seseorang yang lemah karena semua fenomena, apapun itu tidak pernah lepas dari yang namanya "ilmu pengetahuan". kurang nya ilmu pengetahuan yang dimiliki menjadikan seseorang tidak punya prinsip hidup yang kuat, akibatnya 'rasa tidak enak' gampang muncul. sebelum 'rasa tidak enak' merenggut masa depan kita dan merusak semuanya, maka bagunan pengetahuan yang dimiliki harus dikuatkan dengan cara belajar, belajar dan belajar. membaca buku, membaca buku dan membaca buku (buku genre apapun). karena pengetahuan membawa manusia pada kebijaksanaan, maka jangan pernah puas dengan ilmu yang dimiliki sekarang dan teruslah membaca buku (solusi yang masih abstrak ternyata...! hehehe).
Note: Penulis pun masih selalu dihinggapi 'rasa tidak enak' yang terlalu berlebihan dalam kondisi apapun.. mari baca buku terus-menerus.
salam kompasianer..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H