Mohon tunggu...
Ahmad Munazi
Ahmad Munazi Mohon Tunggu... Lainnya - Wirausaha dan mahasiswa

Seorang mahasiswa yang menyukai sejarah, pendidikan, cinta tanah air, yang bercita-cita mencerdaskan anak bangsa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Moral dalam Perkembangan Peserta Didik

2 Juni 2024   23:50 Diperbarui: 3 Juni 2024   00:28 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus kekerasan di lingkungan sekolah menjadi sebuah fenomena yang sering dan banyak terjadi di dunia pendidikan saat ini. LSM International Center for Research on Women (ICRW) menyebutkan bahwa terjadi kekerasan anak-anak sekolah di Indonesia hingga mencapai 84%. 

Hasil penelitian ini menguatkan hasil riset yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang telah menyebutkan bahwa 87,6% anak-anak mengalami tindak kekerasan di sekolah baik fisik maupun psikis. 

Sungguh ironis, di dalam lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi proses perkembangan peserta didik baik pribadi, sosial maupun moral justru menjadi tempat berbahaya bahkan sampai bisa meregang nyawa.

Fenomena tersebut tentu menimbulkan banyak pertanyaan apa yang salah dan bagaimana seharusnya pendidikan moral di implementasikan secara efektif di sekolah? Karena pada dasarnya Pendidikan moral dan karakter sebenarnya telah menjadi fokus dalam pendidikan Indonesia. Namun, implementasi nya masih menjadi masalah. 

Salah satu indikator utama kurang efektifnya pendidikan moral dan karakter di indonesia adalah munculnya kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Seperti yang sudah di sebutkan di atas.

Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan akademik, tetapi juga mengenai penanaman nilai moral dan etika. Para ahli pendidikan moral mengatakan bahwa tujuan pendidikan moral adalah mengarahkan seseorang menjadi bermoral. 

Menurut Nasikh Ulwan mengemukakan bahwa pendidikan moral adalah sendi moral, keutamaan tingkah laku yang wajib dilakukan oleh anak didik, diusahakan dan dibiasakan sejak kecil hingga dewasa (Ulwan:1990). Ini berarti bahwa moral seseorang itu dapat dipupuk dan dapat dikembangkan menuju tingkat perkembangan yang sempurna dalam suatu proses pendidikan.

Salah satu tugas pendidikan adalah membantu peserta didik mencapai tahap perkembangan moral yang tinggi. Dalam pandangan al-Ghozali dan Ibn Miskaway tugas pendidikan adalah membentuk anak mencapai kesempurnaan jiwa, dalam artian bahwa tindakan moral yang ia lakukan sudah menyatu dalam dirinya sehingga tanpa melalui proses berfikir (Miskawai:1934). 

Walaupun keduanya tidak menyebutkan tahap perkembangan secara rinci. Adapun aspek yang dibutuhkan dalam mencapai perkembangan moral tersebut adalah prinsip pembiasan dan peniruan yang mengarah pada terjadinya modeling. Pandangan tersebut di kemukakan oleh al-Ghozali, Ibn Maskaway dan juga dengan A. Bandura.

Dari hal di atas dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan moral faktor-faktor yang memegang peranan penting antara lain :

  • Pembiasan (condisioning) yang didalamnya diperlukan adanya re-inforcement, baik berupa reward maupun punishment terhadap perilaku moral anak jika anak melakukan tindakan moral yang di harapkan (baik), maka di beri pujian (hadiah). Jika melakukan tindakan moral yang tidak di harapkan (buruk), maka diberi hukuman. Dari adanya pembiasan ini internalisasi nilai moral yang di ajarkan akan dapat diwujudkan dalam diri anak. Anak akan menyadari perilaku moral mana yang harus di amalkan dalam kehidupan dan mana yang harus dihindari. Dari adanya pembiasan tersebut perilaku moral yang di ajarkan akan menjadi suatu kebiasaan yang selanjutnya akan membentuk suatu watak atau tabiat anak.
  • Pengembangan berfikir kritis terhadap alasan dan tujuan perilaku moral, yang didalamnya diperlukan adanya diskusi dan pembahasan intensif serta penjelasan terhadap pertimbangan moral (alasan melakukan suatu perilaku moral) serta tujuan dan akibat dari tindakan moral. Dari adanya pemikiran kritis akan dimungkinkan mengembangkan prilaku moral anak dari suatu perilaku moral yang hanya berpusat untuk dirinya menuju pada perhatian kepada orang lain. Selanjutnya akan dimungkinkan ter bentuk suatu tindakan moral yang memperhatikan nilai-nilai universal. Perilaku moral anak tidak hanya didasarkan pada pertimbangan suatu akibat (menguntungkan dan merugikan) yang memperhatikan aturan atau kesepakatan sosial dan nilai universal yang dijunjung dan mempunyai konsekwensi terhadap kehidupan masyarakat.

Metode lain yang bisa digunakan yaitu inkulkasi atau penanaman nilai.

  • Inkulkasi nilai, Program pendidikan moral dengan cara inkulkasi nilai dimulai dengan mengidentifikasi secara jelas nilai-nilai apa yang diharapkan akan tertanam dalam diri subjek didik. Hasilnya adalah "nilai-nilai target" yang akan dicapai dalam program pendidikan moral. cara inkulkasi nilai, di antaranya adalah identifikasi nilai-nilai target, membaca buku-buku sastra dan non-fiksi, bercerita. Membaca buku-buku sastra (novel, cerpen, dsb) dan non-fiksi (biografi, kisah perjalanan/petualangan, dsb) dapat menjadi salah satu cara ampuh untuk menanamkan nilai-nilai dan moralitas dalam diri subjek didik. Setelah membaca buku-buku tersebut, guru dan siswa dapat mengungkapkan nilai-nilai dan masalah-masalah moral yang terdapat di dalam bacaan tersebut.
  • Metode klarifikasi nilai, Keteladanan merupakan bentuk mengestafetkan moral yang digunakan oleh masyarakat religius tradisional, dan digunakan pula oleh masyarakat modern sekarang ini. Dalam masyarakat tradisional, keteladanan diterima secara terberi tanpa harus mengejar argumentasi rasionalnya; sedangkan pada masyarakat modern sekarang keteladanan diterima dengan pemahaman dan argumentasi rasional (Muhadjir, 2004: 163). Orang tua dan guru merupakan sosok yang harus memberikan teladan baik kepada subjek didik. Anak-anak lebih mudah meniru perilaku dari pada harus mengingat dan mengamalkan kata-kata yang diucapkan oleh orang tua dan guru.
  • Metode fasilitasi nilai, Dalam masyarakat liberal, moral diperkenalkan lewat proses klarifikasi, penjelasan agar terjadi pencerahan pada subjek didik. Seberapa jauh sesuatu moral diterima oleh anak, sangat ditentukan oleh anak itu sendiri. Anak diberikan kebebasan untuk memutuskan sendiri. Pendekatan klarifikasi nilai adalah salah satu contoh yang memberikan kebebasan untuk anak menentukan nilai-nilainya. Sebagaimana dinyatakan oleh Sidney B. Simon, dkk (1974: 6) bahwa pendekatan klarifikasi nilai mencoba untuk membantu anakanak muda menjawab beberapa pertanyaan dan membangun sistem nilai sendiri
  • Metode fasilitasi nilai,Guru dan pihak sekolah memberikan berbagai fasilitas yang dapat digunakan siswa agar dapat merealisasikan nilai-nilai moral dalam dirinya baik secara individu maupun berkelompok, misalnya fasilitas beribadah berupa mesjid dan mushola, fasilitas membuat kompos dari sampah sekolah, fasilitas berupa ruang diskusi, perpustakaan dengan buku-buku cerita yang memuat nilai-nilai moral, dan sebagainya.
  • Metode keterampilan nilai moral, Keterampilan moral dalam diri peserta didik dapat diwujudkan dimulai dengan pembiasaan. Lama kelamaan pembiasaan itu ditingkatkan dengan cara peserta didik merancang sendiri berbagai tindakan moral yang akan diwujudkan sebagai suatu komitmen diri, action plan mereka sendiri sebagai wujud realisasi diri menjadi orang yang baik dan memperoleh hidup yang bermakna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun