Perdebatan antara boleh atau tidaknya perempuan untuk memegang posisi pemimpin di sebuah organisasi atau perusahaan, telah menjadi pembahasan panjang dalam berbagai forum. Pertanyaan mendasar yang sering menjadi topik diskusi adalah peran perempuan pada puncak manajerial, bahwa apakah perempuan sebagai individu memiliki kapasitas atau kemampuan mengelola suatu organisasi dengan segala dinamikanya.
Meskipun masih banyak pihak yang menyangsikan kemampuan perempuan dalam memegang posisi kepemimpinan, namun faktanya bahwa jumlah perempuan yang menduduki posisi puncak organisasi ternyata menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun.
Windsor (2020) mencatat bahwa pemimpin perempuan cenderung lebih sukses dan mendapat kepercayaan terkait dengan penyelesaian masalah kompleks. Pendekatan compassionate dan relatable dalam berkomunikasi membuat publik merasa nyaman dalam kepemimpinan perempuan. Studi ini mencatat bahwa negara-negara yang dipimpin perempuan bernasib lebih baik daripada negara-negara yang dipimpin laki-laki selama pandemi.
Riset yang dilakukan Women in the Workplace 2021 oleh McKinsey & Company, menemukan bahwa kepemimpinan perempuan di sektor bisnis dan publik bisa menciptakan organisasi yang lebih sehat. Riset itu juga menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan mampu menghasilkan keputusan yang komprehensif dan inklusif karena mempertimbangkan berbagai aspek. Kepekaan perempuan dinilai mampu merumuskan strategi organisasi atau perusahaan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dan mendorong peningkatan performa perusahaan.
Kepemimpinan perempuan terkait dengan karakter dan sifat feminin. Secara etimologis, feminin berasal dari bahasa Latin yaitu femina yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi feminin, yang berarti bersifat perempuan, mengenai perempuan. Perpaduan sifat atau karakteristik kepemimpinan dan feminis memunculkan sebuah konsep yang diberi nama "kepemimpinan feminis". Feminis merujuk pada sikap, sedangkan kepemimpinan merujuk pada tindakan, jadi kepemimpinan feminis dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemimpin berdasarkan sifat feminis.
Smit menjelaskan lima atribut "feminis" terdiri dari: 1) Kepedulian, didefinisikan sebagai komitmen untuk bertindak atas nama orang lain, kepedulian ada dalam kepemimpinan relasional yang menunjukkan kepedulian dan kasih sayang untuk semua anggota, rekan kerja atau bawahan. 2) Visi, yaitu kemampuan mengartikulasi dan merumuskan gagasan orisinal melalui proses yang difasilitasi oleh motivasi. Pemimpin visioner menciptakan lingkungan kerja yang diliputi saling percaya, kolaboratif, dan partisipatif di antara anggota, rekan kerja dan bawahan. 3) Kolaborasi, yaitu kemampuan untuk bekerja dalam kelompok, mendukung anggota kelompok, dan menciptakan lingkungan yang energik. Kolaborasi melibatkan inklusivitas, berbagi ide, keterhubungan, dan kerja sama. 4) Keberanian, dimaksudkan sebagai kemampuan untuk maju, mencari ide-ide baru dalam dunia praktek. Ini juga termasuk kesediaan untuk mengambil risiko demi kemajuan tim dan individu. 5) Intuisi, yaitu kemampuan memberi bobot yang sama pada pengalaman dan abstraksi, pikiran dan hati. Intuisi bertindak sebagai inisiator kapasitas pikiran dan hati yang tidak dapat dipisahkan dari pendekatan kepemimpinan relasional (Smit, 2013).
Keberhasilan perempuan sebagai seorang pemimpin dipengaruhi beberapa faktor. Nurmi menyebutkan pandangan Kanter, bahwa ada empat faktor yang dominan berpengaruh pada kepemimpinan perempuan, yaitu : Mother, Seductress, Pet dan Iron Maiden (Nurmi, 2020).
Mother maksudnya adalah seorang perempuan terkadang menemukan bahwa dirinya menjadi ibu pada sebuah kelompok atau organisasi di mana ia menjadi pemimpin. Diasumsikan bahwa perempuan adalah sosok yang simpatik, pendengar yang baik, dan mudah diajak berbicara tentang masalah pribadi. Namun, peran perempuan sebagai pemimpin tipe mother ini memiliki konsekuensi negatif bagi kinerjanya yaitu : (a) reward yang diberikan bukan atas hasil tindakan sendiri tetapi untuk organisasi yang ia kelola, (b) aspek yang dominan, diharapkan sebagai "the good mother " di mana ibu menjaga dirinya sebagai seorang yang tidak kritis. Padahal dengan sikap kritis inilah merupakan indikator yang dapat mengembangkan lingkungan kerja yang lebih baik.
Seductress, menunjukkan bahwa peran kepemimpinan perempuan lebih dari peran ibu, di mana perilakunya cenderung diliputi unsur persaingan dan kecemburuan. Seorang ibu berpeluang memiliki banyak anak, menyulitkan dirinya untuk bersikap profesional karena faktor seksualitas. Persepsi bahwa peran the "sex object"Â berpotensi membuat perempuan berperan sebagai penggoda, walaupun perempuan itu sendiri mungkin tidak sadar apakah perilakunya sebagai penyemangat atau justru menjadi penggoda. Perilaku seductress ini berpotensi menimbulkan konflik dalam lingkungan organisasi yang dipimpin.Â
Sementara Pet, adalah karakter menyayangi karyawan, sebagai salah satu kehebatan dari seorang pemimpin perempuan yang mampu menghibur dan memberi rasa nyaman pada karyawannya. Rasa sayang yang ditunjukkan seorang pemimpin perempuan, tidak untuk menjalin hubungan yang serius.