Berawal dari obrolan hangat disuatu malam,dia terlihat sangat serius dalam bercerita,bahkan dengan sedikit raut wajah yang sangat sedih,padahal sebelumnya dia terkenal sangat humoris dan banyak bercanda.Sampai dia bermaksud menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya,dia meminta saya untuk bersumpah untuk merahasiakan ceritanya itu,karena menurutnya itu adalah aibnya yang sangat tidak pantas untuk diceritakan.Meski demikian saya bermaksud ingin membagi cerita ini kepada teman semua,hanya untuk sekedar share saja.Semoga bisa bermanfaat.
Boy (bukan nama sebenarnya),adalah sahabat saya dari kampung.Pada bulan desember 2004 dengan berbekal nekat,dia pergi merantau ke kota Jakarta seorang diri,dia bercita-cita merubah hidupnya,ingin mewujudkan cita-citanya,sebagai anak yang bisa menjadi kebanggaan orang tua,orangtua yang selama ini sering membentak dan memarahinya lantaran ketika di ruma dia tidak mau bekerja,membantu orangtuanya.
Dengan bantuan,seorang tantenya yang ada di jakarta dia bertekad untuk bisa mendapatkan pekerjaan,agar tidak lagi disebut pemuda pengangguran.Meski saat itu dia tidak tahu harus bekerja apa,tapi dia yakin dengan niat yang membaja,pasti Tuhan akan memberikan jalan keluar yang terbaik.
Bersyukurlah waktu itu dia diterima di sebuah pabrik swasta,pabrik yang saat ini saya juga bekerja didalamnya.Dengan upah yang sangat pas-pasan,dia mencoba untuk tetap bertahan untuk sebuah harapan.Dia adalah pemuda yang sangat periang,hari-harinya selalu berhiaskan canda tawa,tapi saat menghadapi masa-masa sulit itu,hampir setiap hari air matanya tak henti-hentinya menetes karena teringat dengan orangtuanya,dengan teman-temannya dan dengan segenap kenangannya dikampung halaman.
Lambat laun dia sudah mulai terbiasa dengan kondisi itu,mulailah dia berani berinteraksi dengan lingkungan jakarta yang demikian keras.Saat itu untuk menghemat biaya hidup dia mengontrak bersama Budhenya,yang profesinya adalah seorang penjual sayur di sebuah pasar dibilangan Jakarta Utara.Hampir setiap hari dia harus membantu budhenya,mulai dari jam 2 pagi,dia harus sudah ada dipasar.Padahal waktu itu dia bekerja dari jam 4 sore,sampai jam 12 malam.Praktis dia hanya istirahat kurang dari 2 jam,kadang juga dia tidak bisa langsung tidur.
Jakarta demikian panas rasanya,malam tak terasa malam,pagi tak terasa pagi.Semuanya seolah mati rasa,hanya berburu harta dan kekayaan.Tak peduli mata mengantuk,tak peduli tubuh lelah,tak peduli hujan lebat mengguyur,semuanya dilakukan demi sebuah harapan.
Perkenalannya dengan Dunia Maya
Dia mulai menunjukkan kebiasaan-kebiasaan yang menurut saya terlalu berlebihan,hanya sekedar untuk sebuah pelampiasan dan pemenuhan kepuasan diri.Dia mulai gandrung dengan gonta-ganti Handphone,padahal waktu itu peran HP tidak begitu vital,hanya untuk bisa dikatakan "Sukses",dia rela untuk mengeluarkan tabungannya yang dia kumpulkan selama berbulan-bulan,untuk sekedar gonta-ganti HP.Benar saja,ketika dia pulang kampung,banyak teman yang memujinya dengan kata "Sukses".
Semenjak itulah dia mulai "berani" berkenalan dengan dunia maya.Tawaran dunia maya yang demikian menggiurkan kepuasan,tak pernah terpikirkan sebelumnya.Perasaan penasaran,ingin mencoba, dan ingin tahunya demikian kuat mendobrak segala bentuk keterpakuannya selama ini.Tak pelak terkadang sampai larut malam pun,dia begitu kuat terjaga hanya untuk berselancar di dunia maya lewat HP nya.
Saat itu,tawaran dunia maya yang tak lagi terbendung,seolah benar-benar mampu menyita semua aktivitas hidupnya.Berkenalan dengan Situs jejaring yang menawarkan pertemanan tanpa batas,dia mulai menjelajahinya,berkenalan dengan orang-orang yang tak pernah dia kenal sebelumnya.Dengan berbekal foto dinding yang terpasang,yang menariknya untuk membukanya,terus menjelajahinya,mengirimkan pertemanan,berkenalan,berkirim pesan,berkirim foto dan seterusnya.
Saat itu tiada hari tanpa chat,tiada hari tanpa online,dan mulailah dia terperangkap dengan jebakan dunia maya yang terlalu kebablasan.