Mohon tunggu...
Ahmad ManarulHidayatullah
Ahmad ManarulHidayatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IAIN Metro Lampung

Menulis adalah jalan ninjaku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kontroversi Kebijakan: Analisis Kebijakan Pengelolaan Tambang Oleh Ormas Agama

15 Juni 2024   21:58 Diperbarui: 15 Juni 2024   21:58 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 telah mengeluarkan kebijakan yang kontroversial dengan memberikan izin kepada organisasi masyarakat (ormas) agama untuk mengelola tambang. Kebijakan ini langsung memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan karena dianggap bertentangan dengan beberapa aspek penting dari kerangka hukum Indonesia, termasuk Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Minerba, dan Undang-Undang Ormas. Selain itu, kebijakan ini juga memicu kecemburuan sosial karena tidak memberikan kesempatan yang sama kepada ormas non-agama. Dalam konteks ini, Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat membutuhkan sumber daya tambahan untuk mendanai program-programnya, menjadi ormas pertama yang mendaftar untuk izin tambang. Namun, organisasi lain seperti Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah menyatakan penolakan mereka terhadap peraturan tersebut.PP Nomor 25 Tahun 2024 dikeluarkan dengan tujuan untuk memperluas partisipasi berbagai kelompok masyarakat dalam sektor pertambangan, yang selama ini didominasi oleh perusahaan besar. Pemerintah berargumen bahwa dengan memberikan akses kepada ormas agama, distribusi kekayaan dapat menjadi lebih merata, dan ormas agama dapat menggunakan pendapatan dari tambang untuk mendanai kegiatan sosial dan kemasyarakatan. Namun, langkah ini dinilai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menyerahkan pengelolaan tambang kepada ormas agama dianggap melanggar prinsip penguasaan negara atas sumber daya alam, yang seharusnya dikelola untuk kepentingan publik secara langsung oleh negara.

Selain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kebijakan ini juga tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). UU Minerba mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan harus mendapatkan izin dari pemerintah dan mengutamakan kepentingan nasional, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat. Mengingat ormas agama biasanya tidak memiliki keahlian teknis dalam bidang pertambangan, ada kekhawatiran bahwa mereka tidak akan mampu memenuhi persyaratan ini. Ketidakmampuan dalam memenuhi standar operasional dan lingkungan yang ditetapkan dapat menimbulkan risiko besar terhadap keselamatan, kesehatan, dan lingkungan.

Di samping itu, kebijakan ini juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). UU Ormas mengatur bahwa ormas berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan nasional dan pelaksanaan tugas-tugas sosial. Namun, tidak ada ketentuan dalam UU Ormas yang secara eksplisit mengatur bahwa ormas agama dapat mengelola usaha pertambangan. Fungsi utama ormas agama lebih difokuskan pada kegiatan sosial, keagamaan, dan kemasyarakatan. Dengan demikian, kebijakan yang memberikan izin kepada ormas agama untuk mengelola tambang dapat dianggap menyimpang dari tujuan utama pendirian ormas dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Kebijakan ini juga menimbulkan masalah sosial yang signifikan. Dengan tidak mencantumkan ormas non-agama dalam kebijakan ini, pemerintah secara tidak langsung menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi di antara berbagai kelompok masyarakat. Hal ini bisa memicu kecemburuan sosial dan memperburuk polarisasi di masyarakat. Dalam konteks Indonesia yang pluralistik, kebijakan semacam ini bisa berdampak negatif pada harmoni sosial dan kohesi nasional. Berbagai organisasi masyarakat dan agama telah menyuarakan penolakan mereka terhadap PP Nomor 25 Tahun 2024. Muhammadiyah, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) termasuk di antara ormas yang secara tegas menolak peraturan tersebut. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan, memperburuk politisasi agama, dan berpotensi merusak kohesi sosial. Muhammadiyah, misalnya, menyatakan bahwa mereka lebih fokus pada pengembangan program-program pendidikan, kesehatan, dan sosial daripada terlibat dalam bisnis tambang yang penuh risiko.

Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) dan organisasi-organisasi Kristen lainnya juga mengkhawatirkan dampak sosial dan lingkungan dari kebijakan ini. Mereka menegaskan bahwa pengelolaan tambang seharusnya tetap berada di tangan negara dan dikelola secara profesional untuk memastikan keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Tambang memiliki risiko besar terhadap lingkungan, termasuk kerusakan ekosistem, pencemaran air, tanah, dan udara. Pengelolaan tambang oleh entitas yang tidak memiliki keahlian yang memadai dapat memperburuk dampak negatif ini. Regulasi yang lemah dan kurangnya pengawasan dari pihak berwenang hanya akan memperparah situasi, berpotensi menyebabkan bencana lingkungan dengan dampak jangka panjang. Dari sisi sosial, keterlibatan ormas agama dalam bisnis tambang bisa memicu konflik kepentingan dan potensi korupsi. Selain itu, politisasi agama yang semakin kuat bisa merusak kohesi sosial dan memicu ketegangan di masyarakat.

Keputusan pemerintah untuk memberikan jalan bagi ormas agama mengelola tambang melalui PP Nomor 25 Tahun 2024 adalah kebijakan yang penuh dengan risiko dan tantangan. Di satu sisi, ini bisa menjadi langkah untuk memberdayakan ormas agama dan mendorong distribusi kekayaan yang lebih merata. Namun, di sisi lain, ini juga menimbulkan berbagai masalah serius, termasuk potensi pelanggaran konstitusi, kecemburuan sosial, kerusakan lingkungan, konflik kepentingan, dan politisasi agama. Penolakan dari ormas besar seperti Muhammadiyah, KWI, PMKRI, dan HKBP menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak mendapatkan dukungan luas dari masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk meninjau kembali kebijakan ini dan memastikan adanya mekanisme pengawasan yang ketat serta dukungan yang memadai bagi ormas yang terlibat. Implementasi yang transparan, akuntabel, dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk memastikan kebijakan ini tidak menjadi bumerang yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Pemerintah perlu melakukan kajian mendalam dan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak sebelum meneruskan kebijakan ini, agar kepentingan nasional, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan dapat terjamin. Selain itu, dialog dan mediasi antara berbagai kelompok masyarakat perlu dilakukan untuk menjaga harmoni sosial dan memastikan bahwa semua kelompok mendapatkan kesempatan yang adil dalam partisipasi ekonomi. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya bertujuan untuk memperluas partisipasi ekonomi tetapi juga untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun