China Selatan, dengan potensi sumber daya alamnya yang melimpah dan jalur pelayaran strategis, telah menjadi salah satu titik panas geopolitik terbesar di dunia. Sengketa teritorial di kawasan ini melibatkan beberapa negara, termasuk China dan beberapa negara ASEAN. Indonesia, meskipun tidak mengklaim bagian dari Laut China Selatan, menghadapi tantangan signifikan terkait kedaulatan di sekitar Kepulauan Natuna. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Haruskah Indonesia memilih jalur diplomasi atau konfrontasi dalam menghadapi krisis ini?
LautLaut China Selatan telah lama menjadi pusat perhatian global karena klaim tumpang tindih dari beberapa negara, termasuk Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan yang paling menonjol, China. China mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan melalui apa yang disebut Nine Dash Lines atau sembilan garis putus-putus.(Sungkar 2022) Klaim yang secara luas dianggap tidak sah oleh komunitas internasional, termasuk berdasarkan putusan Mahkamah Arbitrase Internasional pada tahun 2016. Indonesia, sementara itu, tidak memiliki klaim langsung di Laut China Selatan tetapi wilayah ZEE-nya di sekitar Kepulauan Natuna sering kali dilanggar oleh kapal-kapal China. Ancaman ini terhadap kedaulatan maritim Indonesia memerlukan pendekatan yang hati-hati namun tegas. Dalam menghadapi krisis ini, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan utama: mengedepankan diplomasi atau mengambil langkah konfrontatif.
Diplomasi telah lama menjadi instrumen utama Indonesia dalam menangani isu-isu internasional. Sebagai anggota pendiri ASEAN, Indonesia berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa melalui cara-cara damai dan kerjasama regional. Diplomasi menawarkan beberapa keuntungan signifikan. Pertama, diplomasi memungkinkan negosiasi dan dialog yang dapat mencegah eskalasi konflik. Dalam konteks Laut China Selatan, ASEAN berperan sebagai platform untuk dialog multilateral dengan China. Melalui ASEAN, Indonesia dapat mendorong penyelesaian sengketa yang menguntungkan semua pihak dan mendorong penerapan Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan yang mengikat secara hukum.
Kedua, diplomasi dapat memobilisasi dukungan internasional untuk menekan China agar menghormati hukum internasional, termasuk UNCLOS (United Nations Convention On The Law Of The Sea). Dengan bekerja sama dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, Indonesia dapat memperkuat posisinya. Ketiga, diplomasi mengurangi risiko konflik bersenjata yang dapat merugikan stabilitas regional dan ekonomi nasional. Konflik terbuka dengan China akan berdampak buruk pada perdagangan dan investasi, yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun, diplomasi juga memiliki keterbatasan. China telah menunjukkan kecenderungan untuk mengabaikan tekanan diplomatik dan melanjutkan aktivitas militernya di Laut China Selatan. Upaya diplomasi yang tidak disertai dengan tindakan konkret sering kali tidak efektif dalam menghadapi sikap agresif China. Selain itu, terdapat perbedaan kepentingan di antara negara-negara ASEAN yang sering kali menghambat tercapainya konsensus. Beberapa negara anggota ASEAN memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan China, yang membuat mereka enggan mengambil sikap tegas. Hal ini memperlemah posisi negosiasi kolektif ASEAN dan, pada gilirannya, Indonesia.
Di sisi lain, konfrontasi menawarkan pendekatan yang lebih langsung dan mungkin lebih efektif dalam jangka pendek untuk menjaga kedaulatan. Langkah-langkah konfrontatif dapat mencakup peningkatan patroli maritim, penguatan militer di wilayah yang disengketakan, dan penangkapan kapal-kapal asing yang melanggar. Pendekatan ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak akan mentolerir pelanggaran terhadap kedaulatannya dan siap untuk mengambil tindakan tegas. Konfrontasi juga dapat meningkatkan kewaspadaan dan kesadaran publik internasional tentang masalah ini, yang dapat menambah tekanan terhadap China.
Namun, konfrontasi memiliki risiko yang sangat besar. Pertama, eskalasi militer dapat memicu konflik bersenjata yang merugikan semua pihak. Kedua, tindakan konfrontatif dapat merusak hubungan ekonomi dengan China, yang merupakan mitra dagang terbesar Indonesia. Ketiga, konfrontasi dapat mengisolasi Indonesia di panggung internasional jika tidak didukung oleh komunitas global. Oleh karena itu, konfrontasi harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati dan hanya sebagai upaya terakhir ketika semua opsi diplomatik telah habis.
Indonesia juga memiliki opsi untuk mengadopsi pendekatan hibrida, yaitu kombinasi diplomasi dan konfrontasi. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk terus berdialog dan bernegosiasi sambil memperkuat kapasitas militernya dan meningkatkan patroli di wilayah ZEE. Dengan cara ini, Indonesia dapat menunjukkan bahwa mereka bersedia bekerja sama tetapi juga siap untuk melindungi kedaulatannya jika diperlukan. Pendekatan hibrida ini juga dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam negosiasi dengan China dan pihak internasional lainnya.
Dalam menerapkan pendekatan hibrida, Indonesia harus berfokus pada beberapa langkah strategis. Pertama, memperkuat kerjasama keamanan dengan negara-negara ASEAN dan mitra internasional.(Ogi Nanda Raka Ade Candra Nugraha 2021) Latihan militer gabungan dan patroli maritim bersama dapat meningkatkan kemampuan deteksi dan respon terhadap pelanggaran wilayah. Kedua, memperkuat infrastruktur dan teknologi maritim, termasuk pengawasan satelit dan kapal patroli, untuk memastikan bahwa setiap pelanggaran dapat diidentifikasi dan ditangani dengan cepat. Ketiga, melanjutkan upaya diplomatik untuk menggalang dukungan internasional dan mendorong implementasi CoC yang mengikat secara hukum.
Pilihan antara diplomasi dan konfrontasi dalam menghadapi krisis Laut China Selatan bukanlah keputusan yang mudah bagi Indonesia. Kedua pendekatan memiliki keuntungan dan keterbatasan masing-masing. Diplomasi menawarkan solusi damai dan dapat memobilisasi dukungan internasional, tetapi sering kali kurang efektif dalam menghadapi sikap agresif China. Konfrontasi, di sisi lain, dapat menunjukkan ketegasan dan melindungi kedaulatan, tetapi berisiko memicu konflik bersenjata dan merusak hubungan ekonomi.
Pendekatan yang paling bijaksana bagi Indonesia mungkin adalah adopsi strategi hibrida, menggabungkan diplomasi dan konfrontasi. Dengan cara ini, Indonesia dapat terus bernegosiasi dan mencari solusi damai sambil memperkuat pertahanan maritimnya dan menunjukkan kesiapannya untuk melindungi kedaulatan. Pendekatan ini juga memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan posisi tawarnya dalam negosiasi dan mendapatkan dukungan internasional yang lebih luas.