Istilah sandwich pertama kali ada di buku karya Dorothy A.Miller (1981) yang berjudul The 'Sandwich' generation: adult children of the aging. Secara teori sandwich generation adalah sekelompok orang dewasa berumur 30-40 tahunanan yang bertanggung jawab secara emosional, fisik, finansial terhadap anaknya saja tapi juga orang tuanya. Rata-rata Rp. 149.780.000 per tahunnya untuk menanggung 2 generasi, yaitu si anak dan orang tuanya.
Fenomena sandwich ini sebenarnya sudah terjadi lama dan dimana-mana. Korea selatan menjadi posisi teratas di Asia sebagai negara paling banyak Sandwich Generation. bahkan, di Indonesia sendiri banyak fresh graduate yang belum menikah namun sudah memiliki tanggungan terhadap adik-adiknya yang masih sekolah dan orang tuanya yang sudah tidak bekerja. Depresi, anxiety, dan perasaan terisolasi sudah menjadi hal umum yang sering terjadi oleh para Sandwich Generation.
Ketika harus memikirkan beban finansial yang ditanggung, terkadang kita tidak sempat untuk fokus pada diri sendiri. menurut riset pada tahun 2010, sandwich generation cenderung mengabaikan faktor kesehatan mereka sendiri, seperti soal makan dan kesehatan. Banyak pula sandwich generation yang sudah berkeluarga memiliki struggling pada pernikahannya. Sebab kurangnya waktu untuk bercengkrama dengan suami atau istri mereka.
Sangat sulit untuk menghindari sandwich generation karena kita sebagai society di ekspetasikan bisa mengurus orang tua, tidak hanya mengurus diri sendiri dan anak. Bagaimanapun, mengurus banyak orang di dalam suatu keluarga itu dilihat sebagai bentuk solidaritas keluarga. 75% orang di dunia mengatakan bahwa mengurus orang tua itu adalah sebagai tanggung jawab yang harus dipikul. maka, sandwich generation harus bisa survive.
Pertama, mencoba mengkomunikasikannya dengan jelas apa yang orang tua inginkan, dan apa yang bisa kita lakukan, dan apa yang anggota keluarga lain bisa bantu. Karena sangat sulit untuk memikulnya sendirian. Kedua, mesti memiliki rencana kedepannya sebelum kita menjadi generasi sandwich. Ketiga, harus bisa me-manage keuangan. Berusaha transparan soal uang dengan orang tua agar tidak terjadi kesalahpahaman. Konsisten dan mulai belajar nyisihin uang untuk investasi jangka panjang. Terakhir, prioritaskan diri sendiri dulu sebelum membantu orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H