Oleh: Ahmad Khoiron
"Ada senyap yang terus menghampiri, tarian kata-kata yang tak pernah usai, berontak tanpa suara, memperjuangkan cinta dengan restu terpaksa..."
2015
Bis yang kami tumpangi berjalan cepat, terlihat kaca bis Ziarah Wali Lima yang penuh guyuran hujan, malam itu sepanjang jalan antara Gresik-Surabaya terus diguyur hujan. Tiba-tiba Bu Sumi, wanita separuh baya yang duduk di kursi depan belakang sopir dan tepat bersebelahan dengan saya, Â bertanya kepadaku.
"Sampean dulu pertama disekolah langsung ngajar apa?"
"Kalau saya dulu, tidak ngajar Bu, Kulo awalnya jadi kuli Bu, kebetulan baru 6 bulan ada lowongan saya baru bisa ngelamar jadi guru, Â dan Alhamdulillah diterima.." Jawabku
"Anakku yang bernama Alya itu, setelah lulus juga sudah ngelamar ke Telkomsel, dan diterima tapi sama anaknya tidak diperbolehkan, dia sama abahnya diminta untuk tetap mengabdi di Madrasah saja, meskipun gajinya kecil yang penting ada keberkahan" timpal Bu Sumi dengan binar mata yang menyiratkan keyakinan.
Kuamati Bu Sumi seakan menyimpan kekecewaan mendalam dalam tatapannya, dia terus menatap aliran hujan yang mengenai kaca Bis, seakan dia ingin meluruhkan seluruh kekecewaannya bersama luruhnya hujan. Menghilang tanpa bekas bersama guyuran hujan.
1979
Suminah, adalah gadis ceria yang berada dilingkungan religius, abahnya adalah pemilik ladang tebu dengan luas hektaran, bahkan terkenal sebagai Tuan Tanahnya desa Karang Bening, sebuah desa disekitar Pantai selatan wilayah malang selatan. Lingkungan Suminah adalah Lingkungan Kaum Santri, oleh sebab itu Suminah kecil dengan didikan keras abahnya, hal yang paling ditekankan dalam pendidikan Suminah adalah pelajaran yang berhubungan dengan Agama.
Saat usia 12 tahun, Suminah sudah mulai dilamar oleh anak Kyai setempat, tapi Suminah menolaknya dengan alasan masih ingin mencari Ilmu.