Kemarin, Setelah Maghrib saya lekas-lekas menuju rumah tetangga guna menghadiri kondangan 1000 harinya orang tuanya. Saat tiba dirumahnya, kebetulan saya duduk bersila bersanding dengan Jack. Pemuda yang saya ketahui bekerja di sebuah industri rumahan membuat kerupuk.
"Sampean isik kerja ndek krupuk an a?"
"Wes ora cak... Kerjo ndek Kono sorone nemen, budal Isuk uput-uput, moleh sore bayarane pancet, gak Ono bedane antarane karyawan lawas ambek anyar, bayarane Podo, Jan gak diregani blas, padahal seng nduwe wong jowo, Lek kerjo koyok Melu Londo..." Jawab Jack penuh kekecewaan.
***
"Melok Londo" (ikut Belanda) merupakan sebuah istilah yang masyhur dikalangan pribumi Jawa, yang digunakan untuk menggambarkan perihal sebuah pekerjaan yang tidak ada kebahagiaan dalam pekerjaan itu, selalu dikejar-kejar dengan waktu, target yang harus segera dipenuhi, yang terasa mengesampingkan sisi-sisi kemanusiaan, manusia dituntut menjadi sebuah mesin berjalan.
Seringkali karena tuntutan etos kerja yang tinggi, ketidakberdayaan akan aturan di instansi atau lembaga tempat kita bekerja, membuat kita secara tak langsung menghilangkan sisi sosial yang sejatinya sudah melekat saat manusia itu dilahirkan di bumi ini. Sebagian dari kita, mungkin akan lebih mendahulukan ke tempat kerja dahulu, saat ada tetangga yang terkena musibah. Ada rasa bersalah disana, tapi ketidakberdayaan itulah yang lambat laun membentuk manusia menjadi individualis.
Dalam dunia pendidikan pun, secara jelas dan gamblang terlihat model pembentukan karakter yang individualis, guru harus disibukkan dengan "finger" agar nantinya Tunjangan-tunjangan yang sudah di dapatkannya tidak hangus. Bahkan guru, juga harus sibuk dengan tetek mbengeknya masalah administrasi. Situasi yang menurut saya, akan menghilangkan "ruh" ilmu itu sendiri, sehingga tak salah jika suatu saat anak didik akan menjadi materialistis. Sebab "ruh" ilmu itu sendiri telah lenyap dari "jiwa" pengampu ilmu.
Bahkan, dari sisi siswa pun mulai dibangun sisi-sisi individualis, sekarang mulai ada program Full day school (FDS), sebuah program yang menurut saya pribadi, sebagai program salah kaprah. Kapan mereka akan mengikuti tahlilan, diba'an, yasinan, istighosahan? Kalau saat datang dirumah sudah hampir Maghrib, dan sudah merasa capek, lelah yang pada akhirnya tidak bisa mengikuti kegiatan di masyarakat. Bukankah kita saat dibangku kuliah diajarkan bahwa seorang anak bagaikan kertas putih, tinggal kita mau apakan kertas putih tersebut. Lingkungan selain sekolah juga sebagai tempat pembelajaran, bukankah di masyarakat juga ada madrasah-madrasah non formal yang juga ikut membangun karakter anak. Madrasah Diniyah misalnya, yang selama ini mungkin masih dianggap sebelah mata oleh pemerintah, adalah bukti nyata sistem pendidikan yang menghasilkan tokoh-tokoh yang berakhlak di lingkungannya.
Marilah kita terus bergerak, bergerilya untuk bisa lepas dari "penjajahan", sebab merdeka itu adalah kemandirian bangsa membangun masyarakatnya sesuai "karakter"nya, bukan meniru-niru ataupun bergonta-ganti kurikulum.
Merdekalah di Negerimu wahai kawan....
Perjuangan ini harus terus digerakkan, melawan arus "penindasan"...