Â
Akhir-akhir ini panggung ruang publik kita di isi oleh eksistensi seorang ulama, yang mendefinisikan dirinya sebagai seorang keturunan rasullulah saw, ia membanjiri media-media mainstream kita, tidak kalah ramai media sosial kita juga amat gaduh, riuh akan sepak terjangnya yang penuh dengan polemik, lagi kontroversial.
Namun cerita ini bukan cerita baru yang muncul ke permukaan, melainkan buah panggung estafet yang berlanjut dan terus menerus bermanuver dan berending di dalam permasalah hukum, dan untuk kesekian kalinya habib bahar terjebak di dalam sisi lubang yang sama, ''di perhadapkan dengan kasus ujaran kebencian'', namun siapakah sebenarnya seorang habib bahar bin sumaith, yang berhasil menyedot perhatian kita semua?
Lahir di manado sulawesi utara 36 tahun silam dari seorang  arab ali bin smith, anak pertama dari tujuh saudara ini berasal dari keluarga arab hadhrami golongan alawiyyin bermarga AAL bin sumaith. nilai tawar terhadap pengetahuan agamanya membuat dirinya di percaya memimpin, sekaligus pendiri majelis pembela rasulullah pondok aren, tangerang selatan, selain itu dirinya juga merupakan pendiri pondok pesantren tajul alawiyyin di kota bogor.
Namanya semakin di kenal kalangan luas ketika dirinya menjadi salah satu petinggi FPI, yang di bawah komando langsung habib riziq shihab selaku ketua FPI. Melihat latar belakangnya sebagai seorang habaib menjadikanya manusia yang amat di hormati santri-santrinya, maupun anggota FPI itu sendiri, dan itu menghantarkanya menjadi salah satu ulama di indonesia, yang amat di puja di sekeliling pengikutnya.
Migrasi dari sulawesi ke pulau jawa, membawa gelar habaib dengan nilai tawar pengetahuan agama, nyatanya berhasil mendongkrak kepopularitasanya menjadi salah satu ulama yang di perhitungkan, apa lagi basis pengikutnya terbesarnya berada di sentral jawa barat.Â
walaupun apa yang di tawarkan habib bahar  dalam setiap segmen ceramahnya, banyak  di isi dengan narasi narasi sarkasme, meluap-luap dengan nada yang tinggi, mengedepankan arogansi dari pada kelembutan, hal itu tidak mengurangi minat penyelengara dalam menghadirkan dirinya, dalam mengisi acara-acara keagamaan.
                   PARADOKS SEORANG HABIB BAHAR BIN SUMAITH
Apa yang membuat sosoknya begitu amat kontra produktif, sehingga berkali-kali dirinya kembali terseret di dalam kasus yang sama, Â menjadikan penjara menjadi rumah kedua baginya untuk bernaung dari terik panas matahari, dingin kuyup di guyur hujan, padahal sejatinya menurut saya ia salah satu ulama yang tidak terjebak terhadap model ulama tradisonalisme, terpasung di dalam pembacaan agama secara tekstualist, yang hanya mengurusi masalah kehidupan setelah mati, maupun alam ahirat saja.
Kita sering mendengar cermah-ceramahnya, bahwa ia amat sangat mencintai agama, NKRI, rakyat indonesia, ia ingin menyelamatkan agamanya, maupun indonesia, lalu rakyat, dari ancaman kedzholiman yang di ekspresikan oleh penguasa. sehingga eksistensinya adalah menjadi oposisi sejati. namun pertanyaan menggelitik lainya muncul di kepala yang di isi oleh nalar kritis, dan rasionalitas itu sendiri, '' membela rakyat yang mana?, menyelamat NKRI yang mana?''