Oleh: Syamsul Yakin & Ahmad Jauhari
Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Post-Truth sebenarnya sudah lama ada. Tidak ketika media online, termasuk media baru, media sosial, dan social network, menjadi satu. Post-truth tidak berasal dari jemari tangan, dunia digital, ruang virtual, atau apa pun yang ada di internet. Sebaliknya, itu berasal dari hati manusia sejak zaman kuno. Kebohongan berpendapat bahwa fakta sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Oleh karena itu, post-truth adalah perilaku lama yang dikemas kembali. Fakta-fakta berikut menunjukkan definisi post-truth.
"Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan," kata Nabi SAW, bersumber dari Abu Hurairah. Ketika pendusta dibenarkan, orang jujur malah didustakan. Pengkhianat dihormati, sementara orang yang amanah dianggap pengkhianat. Nabi SAW berkata, "Orang bodoh yang ikut campur dalam urusan publik" ketika Ruwaibidhah berbicara.
Ketika pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, ini menunjukkan bahwa kebenaran post-truth sudah ada sejak lama. Sumber berita yang kredibel tidak lagi dapat mendorong orang. Mereka lebih cenderung percaya pada hoaks yang mempermainkan akal sehat dan emosi. Sangat jelas bahwa post-truth telah lama berkuasa atas rasionalitas. Ini pasti akan mengancam kohesivitas sosial, kemajuan, keunggulan, dan kemandirian negara jika dibiarkan.
Rasa takut akan kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kekalahan dalam persaingan, seperti kelemahan dalam tata-kelola kepribadian, ilmu, dan kerja keras, menyebabkan post-truth secara psikologis. Post-truth menceritakan tentang orang-orang yang kalah yang memaksa untuk menang, meskipun dengan menggunakan taktik, agitasi, dan kampanye hitam. Sementara orang jujur didustakan, pendusta dibenarkan. Tidak dapat disangkal bahwa post-truth telah mempengaruhi praktik politik kontemporer.
Selanjutnya, fakta bahwa pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah dianggap pengkhianat, menunjukkan bahwa sifat dasar media sosial bukanlah anti-humanisme. Sebenarnya, sejarah menunjukkan bahwa hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian telah menyebar jauh sebelum berkembangnya media konvergensi. Â Dengan kata lain, ciri-ciri internet adalah humanis, demokratis, dan pluralis. Namun sayangnya, di era disrupsi, banyak orang yang diserang tanpa tahu siapa yang melakukannya. Seseorang yang tidak diketahui mengkhianati.
Munculnya Ruwaibidhah, representasi masyarakat online yang instan, hipokrit, anti-sosial, dan bandit, memperparah keadaan ini. Ruwaibidhah adalah musuh peradaban dan bangsa-bangsa. Ruwaibidhah berada di tengah karena dia sebenarnya marginal dengan watak agresifnya. Selain itu, ia berhasil mengendalikan keadaan ekonomi dan politik dengan kemampuan retorikanya. Ruwaibidhah inilah yang sudah merubah wajah media sosial, yang seharusnya digunakan dengan cerdik.
Tidak diragukan lagi, untuk memenangi kompetisi ini, kita harus berpikir progresif dan berwatak futurolog, menggunakan prinsip "tomorrow is today". Bukan sebaliknya, orang-orang romantis konvensional yang percaya bahwa "yesterday is today" Jika tidak, kita akan tergilas oleh katalis perubahan liar dalam nanosecond. Ingat bahwa kita harus melakukan pergeseran ketika flatform berubah. Kita juga perlu mereposisi dari "penumpang" era digital ke "pengendali".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H