Pilkada serentak pada 2024 yang meliputi hampir 500 wilayah kabupaten dan kota di Indonesia membuat tensi politik tak kunjung reda. Belakangan ini, ruang diskusi publik didominasi oleh pembicaraan terkait Pilkada Daerah Khusus Jakarta.
Berbagai gelagat pergerakan posisi partai sekaligus perubahan sikap para elitnya cukup menyita perhatian. Terakhir, sikap PKS cukup menjadi cambuk tajam bagi pendukungnya setelah publik bersama-sama mengendus adanya intensi PKS untuk bergabung dengan pemerintahan pemenang Pilpres Prabowo-Gibran.
Bukan tanpa alasan, PKS yang selama dua periode ini konsisten berada di luar pemerintahan sekaligus menjadi label oposisi nyatanya mulai terseok-seok dalam pendiriannya.
Lebih jauh, sikap PKS yang gelagatnya mulai meninggalkan Anies Baswedan--sosok yang memiliki label sama dengan PKS--dihitung sebagai bentuk pengkhianatan bagi publik yang menaruh harapan pada partai oposisi yang semakin defisit beberapa tahun terakhir.
Tidak berhenti di sana, PKB yang merupakan kawan koalisi PKS pada Pilpres 2024 lalu, telah lebih dulu memberikan gelagat yang sama. Sebuah ironi karena ketua umumnya merupakan calon wakil presiden yang ikut berkontestasi, namun pada akhirnya terseok juga.
Lebih ironi lagi, Nasdem sebagai partai politik pertama yang "menyelamatkan" tiket calon presiden untuk Anies Baswedan telah terang-terangan sejak awal bahwa partainya akan "memperkuat" pemerintahan Prabowo-Gibran. Tidak heran apabila publik melabelinya para partai oportunis.
Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi yang bertujuan untuk memenangkan Prabowo-Gibran tak laksana bubar setelah kemenangan yang diraihnya.
Menurut Politikus Golkar Maman Abdurrahman dalam tayangan kanal Youtube Indonesia Lawyers Club, menyebutkan bahwa di internal KIM terdapat kesepakatan untuk membuat linearisasi atau menyeragamkan para kepala daerah. Penyeragaman ini dilakukan dengan mengusung calon kepala daerah yang sama oleh KIM agar program Prabowo-Gibran berjalan dengan lancar. Tentu, hal ini adalah sebuah bahasa politik untuk menjelaskan apa arti dari "kerakusan."
Budaya politik untuk mengondisikan agar tidak ada partai politik di luar pemerintahan adalah budaya yang bengis. Bukan mengesampingkan rekonsiliasi, namun semakin terbuka lebarnya potensi pemufakatan jahat antarelit partai sekaligus kosongnya peran check and balance pemerintahan yang berkuasa membuat masa depan politik Indonesia semakin suram. Semua tahapan politik tidak akan lagi berdasarkan visi dan gagasan, namun hanya sebatas transaksi dan keuntungan.
Tak hanya itu, adalah tindakan pecundang untuk menjegal calon-calon tertentu agar tidak bisa ikut bertempur dalam kontestasi Pilkada. Lebih memalukan lagi apabila upaya-upaya penjegalan tersebut dilakukan oleh partai-partai penguasa. Bagai tidak punya malu, mungkin mereka hanya ingin mendapatkan kekuasaan dengan melawan kotak kosong atau dengan melawan calon-calon boneka utusan mereka. Tindakan pecundang nan memalukan hanya untuk berkuasa.