Di dunia yang semakin terhubung, tantangan untuk melindungi hak asasi manusia dan mencegah kekejaman menjadi isu yang sangat penting. Salah satu prinsip yang muncul sebagai respons terhadap kegagalan komunitas internasional dalam mencegah tragedi kemanusiaan adalah Responsibility to Protect (R2P).Â
Pada tahun 2005, konsep internasional Responsibility to Protect (R2P) muncul sebagai tanggapan terhadap kegagalan komunitas internasional untuk mencegah genosida dan kejahatan kemanusiaan, seperti yang terjadi di Rwanda dan Bosnia. Menurut prinsip ini, setiap negara bertanggung jawab sepenuhnya untuk melindungi penduduknya dari genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jika negara tidak melakukannya, tanggung jawab beralih ke komunitas internasional, termasuk intervensi yang dilakukan oleh PBB. Krisis Rohingya di Myanmar menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana Perserikatan Bangsa-Bangsa menerapkan R2P dalam konteks ini.
Kelompok minoritas Muslim Rohingya, yang tinggal di negara bagian Rakhine, Myanmar, telah lama menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Karena pemerintah Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis resmi, mereka tanpa kewarganegaraan dan terpinggirkan secara sosial, ekonomi, dan politik. Krisis kemanusiaan ini menyebabkan lebih dari 700.000 orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh yang menghadapi tekanan besar untuk menampung para pengungsi. Komunitas internasional, termasuk PBB, menghadapi tantangan besar dalam mencari solusi untuk krisis ini, terutama dalam konteks penerapan R2P.
    R2P menegaskan bahwa setiap negara tidak hanya bertanggung jawab terhadap warganya, tetapi juga memiliki kewajiban moral untuk mencegah genosida dan kejahatan kemanusiaan di seluruh dunia. Konsep R2P lahir dari pengalaman sejarah yang pahit, di mana banyak tragedi kemanusiaan terjadi tanpa ada tindakan yang mampu dari komunitas internasional. Misalnya, genosida di Rwanda pada tahun 1994 menjadi pengingat tragis bahwa ketidakpedulian dapat berakibat fatal. Dengan adanya R2P, harapannya tidak ada lagi pembiaran terhadap kekejaman yang mengancam nyawa manusia.
Prinsip R2P lahir dari kesadaran akan kegagalan komunitas internasional untuk mencegah tragedi besar seperti Holocaust (1940-an), genosida di Rwanda (1994), dan pembersihan etnis di bekas Yugoslavia (1990-an). Dalam kasus-kasus ini, ribuan hingga jutaan jiwa melayang akibat tindakan brutal yang dapat dicegah.
Sehingga pada ada tahun 2001, ICISS memperkenalkan konsep Responsibility to Protect sebagai cara untuk menyeimbangkan kedaulatan negara dengan kewajiban internasional. Prinsip ini menegaskan bahwa kedaulatan membawa tanggung jawab, terutama dalam melindungi hak asasi manusia. para pemimpin dunia menyepakati R2P sebagai norma internasional. Resolusi ini memperkuat kewajiban negara dan komunitas internasional untuk bertindak jika terjadi kejahatan massal.
R2P didasarkan pada tiga pilar:
Pilar Pertama: Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi penduduknya.
Pilar Kedua: Komunitas internasional harus membantu negara memenuhi tanggung jawab tersebut.
Pilar Ketiga: Jika sebuah negara gagal melindungi penduduknya, komunitas internasional dapat mengambil tindakan kolektif, termasuk intervensi militer sebagai upaya terakhir.
Dengan konsep ini, R2P menjadi kerangka kerja untuk mencegah dan merespons kejahatan kemanusiaan, menegaskan bahwa tidak ada negara atau individu yang berada di atas tanggung jawab moral dan hukum.