Mohon tunggu...
ahmad saifulloh
ahmad saifulloh Mohon Tunggu... -

Seorang santri di daerah ponorogo

Selanjutnya

Tutup

Politik

Amerika: Negara Pluralis yang Antipluralisme

19 April 2011   00:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:40 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam satu dasa warsa terakhir ini, kita dikejutkan oleh maraknya perkembangan isme-isme -yang sebenarnya bukan barang baru- dalam peta pemikiran Islam di Indonesia. Ia bergerak begitu cepat bak bola liar memasuki segala sendi kehidupan termasuk Agama. Faham-faham seperti sekularisme, liberalisme, dan pluralisme yang datang dari peradaban barat, menjadi "dagangan" yang begitu memikat para intelektual muda untuk mengikutinya. Entah karena mereka tidak mau dikatakan ketinggalan jaman, atau sekedar latah meng-copy peradaban barat yang dianggap lebih maju itu. Bahkan faham pluralisme sendiri telah berhasil merasuki umat Islam karena ia begitu gencar dipasarkan melalui kekuatan media. Sehinga di luar kesadaran kita, ia telah masuk ke alam bawah sadar yang pada gilirannya akan mempengaruhi sikap, pola pikir, dan tingkah laku kita.

Namun sebenarnya dalam hazanah pemikiran Islam, terminology pluralisme atau al-ta'addudiyyah itu tidak dikenal secara populer kecuali sejak abad ke-20 yang lalu. Yaitu ketika terjadi perubahan penting dalam kebijakan barat yang berupaya menjajakan "dagangan" (ideologi, red) modernnya yang mereka anggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM, dan pasar bebas. Sebuah kebijakan yang didasari oleh perasaan superior khas barat dan peremehan terhadap yang bukan barat. Islam khususnya, yang banyak berkembang di Negara-negara dunia ke tiga, dituduh intoleran, anti-demokrasi, fundamentalis, sektarian, dan identik dengan kekerasan yang berakibat pada terhambatnya perkembangan sebuah Negara. Perubahan kebijakan politik barat inilah yang mendorong para sarjana muslim di dunia Arab untuk ikut membeli "dagangan" barat itu yang ditandai dengan maraknya seminar, konferensi, tulisan di majalah dan jurnal ilmiah, yang membahas masalah tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya, usaha barat untuk menjajakan "dagangannya" itu semakin gencar setelah muncul aksi pengeboman World Trade Center (WTC) 11 September 2001 silam. Islam yang sebelumnya dicitrakan sebagai agama yang intoleran, anti demokrasi, dan fundamentalis, menjadi sasaran utama. Maka muncullah taktik dan strategi perang pemikiran -termasuk di dalamnya pemaksaan faham pluralisme- yang dilancarkan barat untuk melemahkan tradisi pemikiran Islam yang sebenarnya sudah mapan. Sebagai sebuah gerakan politis, perang pemikiran tersebut dilakukan melalui berbagai jalur; pendidikan, ekonomi, dan media massa, sehingga menjelma sebagai kekuatan dahsyat yang mampu mempengaruhi umat Islam di berbagai Negara. Mereka menyebarkan (baca: memaksakan) faham tersebut sebagai satu-satunya faham yang bisa mendamaikan dunia, dan harus diterapkan pada agama Islam jika umat Islam ingin hidup secara berdampingan dan tanpa konflik dengan barat. Pada gilirannya, pluralisme agama akan menjadi sebuah teologi global yang mereka anggap seirama dengan globalisasi dan nilai-nilai universal.

Sebelumnya perlu dipahami bahwa pluralisme agama sejatinya memiliki banyak pengertian, namun bisa disederhanakan menjadi dua pengertian saja. Pertama, ia berarti suatu kondisi hidup bersama antar agama yang berbeda-beda dalam satu komunitas, dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.[1] Kedua, semua agama merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan kata lain, semua agama adalah sama dan tidak ada yang lebih baik dari yang lain.[2] Dalam perkembangannya, definisi yang kedua inilah yang sering dipakai dalam diskusi-diskusi sosio-ilmiah saat ini. Berdasarkan dua pengertian di atas dapat dikatakan, Negara yang pluralis adalah Negara yang menerima suatu kenyataan bahwa masyarakat yang ada di wilayahnya merupakan masyarakat yang dibedakan oleh hadirnya berbagai agama dan pandangan hidup dalam waktu yang sama. Ia akan memberikan hak seluas-luasnya kepada warga negaranya untuk bebas memeluk agama atau kepercayaannya. Karena kebebasan beragama, pada saat sekarang, berkembang menjadi hak asasi kebebasan beragama atau berkeyakinan yang berlaku secara universal.[3] Negara tidak akan menempatkan salah satu agama tertentu di atas agama yang lainnya. Dan Negara tidak akan melarang rakyatnya untuk memeluk suatu agama tertentu. Sikap-sikap seperti inilah yang justru diabaikan oleh pemerintah Amerika yang dengan jelas membatasi gerak pemeluk agama tertentu (baca: Islam). Mereka menganggap Islam sebagai agama yang intoleran, anti demokrasi, fundamentalis, menempuh jalan kekerasan untuk mencapai tujuan dan membelenggu para wanitanya untuk lebih maju. Mereka -melalui berbagai macam cara- mengharuskan umat Islam untuk menjadi liberalis, sekuleris, dan pluralis.[4]

Dari sini bisa disimpulkan bahwa Amerika, yang begitu getol memasarkan ideologi pluralismenya (bahkan tidak jarang menempuh jalan yang licik), sama sekali tidak punya keinginan untuk hidup berdampingan dengan agama lain yang memiliki ajaran masing-masing. Mereka juga menganggap bahwa ideologi merekalah (pluralisme) yang lebih baik dari ideologi yang lain (Islam). Di satu sisi mereka mengharuskan umat Islam untuk mengakui kebenaran agama lain, namun di sisi lainnya mereka menganggap bahwa ideology merekalah yang paling benar. Di satu sisi mereka mengharuskan Negara-negara Islam untuk memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada warganya dalam beragama, di sisi yang lain mereka membatasi dengan ketat warganya yang muslim untuk mengaktualisasikan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Sungguh, sebuah sikap yang sama sekali tidak pluralis. Maka semakin jelaslah bahwa pluralisme sangat mustahil untuk bisa membumi, karena ternyata Negara pengusung dan penganjurnya sendiri memiliki kebijakan politik yang anti pluralisme.

[1] Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Perspektif, 2006), hlm. 14

[2] Lihat John Hick, Religious Pluralism, dalam Eliade, Mircea (ed), The Encyclopedia of Religion (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), Vol. 12, hlm. 331

[3] Tore Lindholm, Justifikasi Filosofis dan Keagamaan terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, dalam Tore Lindholm,dkk., Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? (terj.), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010), hlm. 106

[4] Baca President Bush's Speech on Terrorism, delivered in Charlotte,N.C.Thursday, April 6, 2006, (http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/04/06/AR2006040601435.html)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun