Front Pembela Islam (FPI) kembali menjadi sorotan. Lagi-lagi soal anarkisme. Kali ini, puluhan anggota FPI terlibat bentrok dengan warga di Kecamatan Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah. Pada Kamis 18 Juli yang lalu, puluhan anggota FPI dikejar-kejar massa di Sukorejo itu.
Warga yang marah mengepung mereka di Masjid Sukorejo. Gara-garanya, rombongan konvoi FPI menabrak warga hingga tewas. Tak hanya mengepung, warga juga merusak dan membakar mobil yang digunakan anggota FPI berkonvoi. Sukorejo pun mencekam Kamis malam itu.
Pengepungan berlangsung sampai malam. Sekitar 27 angota FPI tetap bertahan di dalam masjid, terisolasi. Dengan penuh ketegangan, polisi akhirnya mengevakuasi para anggota FPI itu dalam kegelapan, supaya tak ada serangan dari warga. Sebanyak 27 anggota FPI digelandang ke Mapolres Kendal. Mereka diperiksa. Akhirnya, 3 anggota FPI menjadi tersangka setelah bentrokan itu.
Aksi itu menarik perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia meminta ormas Islam tidak melakukan kekerasan. Sebab, kekerasan hanya akan merusak citra Islam. "Kita tidak boleh main hakim sendiri apalagi melakukannya dengan membawa-bawa ajaran agama Islam. Islam itu tidak identik dengan kekerasan. Jika ada melakukan hal seperti itu justru merusak citra Islam," ujar SBY di Hall D JIExpo 21 Juli.
Kepala Negara langsung memberi instruksi kepada penegak hukum agar kejadian tersebut tidak terjadi lagi, harus dicegah termasuk dari elemen FPI dan masyarakat agar tidak melakukan aksi pengrusakan. Ketua Umum Partai Demokrat ini memang kerap berkomentar soal konflik horizontal dan kekerasan yang terjadi di tanah air, termasuk beberapa yang dilakukan FPI. Namun, pernyataan SBY sebelumnya hanya bersifat normatif.
Kini, SBY dengan lugas menyebut FPI sebagai pelaku kekerasan yang terjadi di Sukorejo, Kendal, Jawa Tengah. Dalam bentrokan warga dan FPI itu, satu orang warga tewas karena ditabrak mobil rombongan ormas Islam radikal itu.
Menurut saya teguran keras SBY kepada FPI terkait bentrok dengan warga di Kendal, merupakan bentuk sikap seorang kepala negara untuk mendidik rakyat agar lebih mengerti hukum, peraturan dan tata tertib.
Apa yang dilakukan SBY tersebut tidak lain untuk menetralisir agar tidak berkembang ke arah yang semakin destruktif, serta meminimalisir berbagai isu negatif yang juga berkembang di masyarakat terkait bentrokan tersebut.
FPI Lawan Simbol Negara
Tersulut dengan pernyataan SBY, FPI langsung menggelar pernyataan serupa menurut versinya. Melalui Ketuanya Habib Rizieq sampai menyebut Presiden SBY sebagai pecundang. Bahkan Habib yang pernah mendekam di Poldqa Metro Jaya ini FPI menghargai SBY sebagai seorang kepala negara. Saya menilai apa yang diucapkan oleh Rizieq sangat tidak pantas dan keterlaluan. Hak siapapun untuk menilai siapapun, FPI terlalu rendah sampai menilai SBY sebagai pecundang. Seharusnya FPI menghargai dia sebagai kepala negara yang juga merupakan simbol suatu negara. FPI harus lebih sopan terhadap simbol negara.
Sangat wajar apabila SBY, sebagai seorang presiden berkata tegas kepada siapapun yang mengganggu ketertiban masyarakat. Sehingga, FPI harus memahami hak itu sebagai sebuah tugas konstitusi SBY sebagai presiden. Wajib hukumnya untuk menghadirkan rasa aman kepada masyarakat, termasuk dengan memberi teguran.
Tuduhan FPI ke Presiden bahwa SBY galau merupakan penghinaan lambang negara. Pasca rusuh Kendal, Presiden bersikap tegas dengan memerintahkan aparat memproses semua pihak yang terlibat, termasuk FPI. Ini merupakan wujud respon cepat Kepala Negara terhadap berbagai hal yang terjadi di masyarakat. Memang sejatinya ini wewenang Pemerintah Daerah dan penegak hukum lainnya, tetapi karena FPI sering melakukan kekerasan di banyak tempat, maka SBY sebagai Presiden merasa harus berbuat lebih, tidak hanya menunggu kerja Pemda dan Polisi. Sebuah sikap yang sudah pas bagi seorang pemimpin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H