[caption id="attachment_320832" align="aligncenter" width="448" caption="Pasar Bandeng, foto pribadi"][/caption]
Bagi istri saya, Pasar Bandeng adalah tempat teramai di komplek tempat dia dibesarkan. Istri saya besar di Perumnas 1 Kota Tangerang yang memiliki pasar di tengah komplek yaitu Pasar Bandeng. Kami berkesempatan mengunjungi pasar ini kemarin saat nikahan adik yang kebetulan dilaksanakan di Gelanggang Olahraga Bandeng, tepat belakang Pasar Bandeng. Pasar ini sudah berdiri sejak dulu, bahkan konon lebih tua dari Perumnas 1 Kota Tangerang. “Tahun 90an berupa kios bedeng-bedeng, ga kaya gini” ujar istri. Sekarang sudah dibangun dalam bentuk kios tembok bertingkat, kira-kira sudah sejak 1 atau 2 tahun lalu.
[caption id="attachment_320833" align="aligncenter" width="448" caption="Pasar Bandeng Warna Warni, foto pribadi"]
Pasar Bandeng, walaupun namanya Bandeng, bukan berarti Pasar Ikan Bandeng. Bandeng diambil dari nama Jalan Bandeng, jalan utama Pasar Bandeng. Di Perumnas 1 nama-nama jalan biasanya diambil dari nama sungai atau nama ikan, seperti Cirarap, Cibodas, dan Bandeng. Bagi saya lokasi ini cukup unik karena biasanya tidak ada pasar tradisional yang berada di tengah komplek perumahan. Biasanya pasar tradisional ada di kampung-kampung. Letaknyapun sangat strategis karena dikelilingi pusat layanan masyarakat lainnya, seperti Puskesmas dan RS Ibu dan Anak di sebelah kiri, kantor pemerintah daerah dan Gelanggang Olahraga tepat dibelakang dan di sebelah kanannya, perumahan.
[caption id="attachment_320834" align="aligncenter" width="448" caption="Pedagang berjualan di jalan, fotopribadi"]
Namun di tengah popularitasnya yang tetap tinggi, perubahan pasar yang tadinya tradisional berbedeng menjadi bertembok dinding dengan cat warna warni eye catching, rmasih membawa keraguan para pedagang. Masih banyak kios yang kosong. Pedagang masih banyak yang berjualan di pinggir jalan atau di gang-gang sekitar pasar. Akibatnya jalan semakin padat dan sempit, sulit dilalui kendaraan terutama mobil, apalagi banyak motor parkir dan gerobak pedagang nangkring di pinggir jalan.
[caption id="attachment_320835" align="aligncenter" width="448" caption="berjualan di luar gedung, foto pribadi"]
Kondisi ini mungkin sama dengan Pasar Tanah Abang yang masih kesulitan memindahkan pedagang dari berjualan di pinggir jalan masuk ke dalam pasar di dalam gedung. Kepercayaan terhadap lokasi dan gedung baru masih sulit diraih. Ditambah perilaku konsumen yang merasa lebih enak membeli di pinggir jalan karena ga perlu capek-capek naik tangga. Jika membeli di pinggir jalan akan lebih mudah, bahkan menawar sambil naik motorpun jadi!
[caption id="attachment_320836" align="aligncenter" width="336" caption="kios masih banyak yang kosong, foto pribadi"]
Akan tetapi, mungkin karena tidak serumit Tanah Abang, pasar Bandeng dan masyarakat sekitar rupanya tidak menganggap hal ini sebagai masalah. Sepandangan saya, kondisi padat dan sempitnya jalan tidak memengaruhi mereka. Baik bagi pedagang, pejalan kaki, pengendara motor ataupun mobil tidak merasa terganggu. Bahkan yang saya lihat, pasar dan lokasi sekitar pasar Bandeng penuh gejolak kehidupan. Roda ekonomi berputar.
[caption id="attachment_320837" align="aligncenter" width="448" caption="odong-odong menambah meriah di belakang pasar, foto pribadi"]
Pedagang dan konsumen yang ada di pasar menikmati, walau panas, walau sempit, walau padat. Tidak terlihat mereka kapok (saya juga ga kapok main ke sini). Mungkin inilah ruh, “the spirit of traditional market”, rame dan tumpah ruah sampai ke jalan. Bahkan mungkin orang akan berkata kalo ga padat, ga sempit, ga ramai, ga bakal hidup, ga bakal enak. Ya, masing-masing punya cara menentukan kenyamanannya, dan bagi masyarakat Pasar Bandeng, mungkin kondisi inilah yang diinginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H