[caption id="attachment_411416" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompas.com"][/caption]
Suatu hari teman saya bercerita tentang anaknya yang masih TK, teman anaknya meminjam gantungan kunci tetapi tidak dikembalikan. Saat itu teman saya menjawab, “uda ga papa kasih aja, mungkin temenmu pengen”. Beberapa hari kemudian anaknya cerita lagi, pensilnya dipinjam tetapi tidak dikembalikan. Yang kedua kalinya teman saya bilang “nanti kalau pinjem lagi bilang, kata Bapak harus dikembalikan”. Beberapa malam kemudian anak teman saya cerita lagi, tadi penghapusnya dipinjem temen, tetapi dikembalikan. Alhamdulillah, kata teman saya. Lain waktu, anaknya cerita lagi “Di sekolah ada yang galak” katanya “Galaknya gimana?” “Suka nendang-nendang” Waduh. “Bilang ke temen kamu ya, ga boleh nendang-nendang kata Bapak”.
Lain lagi cerita sepupu saya, suatu ketika ponakan saya yang SD ikut studi tur. Diberilah uang saku 20ribu buat jajan. Pas pulang ternyata uangnya habis. Sepupu saya tanya, tadi beli apa saja. “Eskrim bunda” “Terus kembaliannya mana?” jawab bunda. “Traktir teman-teman”. “Ya uda ga papa” kata sepupu saya. Di kemudian hari, sepupu saya mendapati hal yang sama, uang ponakan saya habis, padahal baru dikasih jajan untuk 3 hari jajan. Ponakan saya bilang, teman gengnya minta dibelikan jajan di sekolah. “Kenapa selalu dijajanin?” “Habis kalau ga, ga diajak main”, katanya. Esoknya sepupu saya sengaja datang ke sekolah untuk menceritakan hal itu kepada gurunya, mohon agar temannya diberi pengertian. Sepupu saya sendiri mengingatkan anaknya agar tidak memenuhi permintaan temannya. Benar, ponakan saya mengikuti perintah ibunya dan sepertinya Ibu Guru juga memberi pemahaman pada muridnya yang suka minta dijajanin, namun yang terjadi kemudian adalah ponakan saya sekarang main sendiri karena teman satu gengnya ga mau main lagi sama dia.
Ada lagi teman kerja saya yang anaknya minta dipindahkan TK nya karena ada kejadian yang membuat anaknya takut dan trauma, sampai sekarangpun tidak terungkap kejadian apa. Pada awalnya anaknya cuma mogok ga mau sekolah, ketika kemudian dicoba sekolah lagi, baru sampai halaman depan sudah menangis, setelah dicoba lagi di lain hari tetap tidak bisa. Untuk kebaikan dan kenyamanan anaknya akhirnya dia dipindahkan sekolahnya.
Saya sendiri punya pengalaman jelek yang saya ingat sampai sekarang ketika TK dulu, saya punya teman tengil banget anaknya, tiap hari gangguin saya, sampai akhirnya saya mogok ga mau sekolah. Orang tua sayapun bingung karena saat itu saya diam seribu bahasa, pokoknya ga mau sekolah walau akhirnya setelah lama mendekam di rumah dan dibujuk rayu, mau sekolah lagi. Pernah juga waktu SD, saya diejek terus menerus oleh teman saya, karena hal itu saya marah sehingga bolpennya saya buang. Sebagai konsekuensinya, karena bolpen yang saya buang hilang ga ketemu, saya harus ganti bolpennya, tanpa melihat sakit hati saya. (Hiks, tapi sekarang sudah tidak sakit hati lagi ko)
Cerita seperti itu atau ragamnya, sering terdengar di TK atau SD. Bagusnya adalah cerita-cerita pada umumnya benar terjadi dan miskin rekayasa karena disampaikan oleh anak kecil dengan polos dan lugu, dari meminjam pensil ga dikembalikan, ambil makanan ga minta izin, ga minta maaf, sampai berantem-beranteman semua ada. Efeknyapun beragam, dari yang sederhana seperti nangis, marah, dijauhi temannya, sampai yang berat seperti mogok ga mau sekolah sampai merengek untuk pindah sekolah.
Ketika saat ini, kita punya anak dan ingat akan kejadian menyakitkan yang menimpa kita (mudah-mudahan guwe aja kali y) jaman dulu, tentu kita ga mau kejadian yang sama terjadi pada anak kita bukan? Kejadian yang dianggap biasa oleh orang dewasa, bisa ternyata luar biasa bagi anak kita. Kejadian yang kadang terjadi di luar jangkauan kita, karena kita ga ngerti anak atau anak diam seribu bahasa. Yang kita takutkan adalah (naudzubillah) tiba-tiba bisa ada berita buruk apakah itu kekerasan atau pelecehan seksual, misalnya, seperti yang terjadi di salah satu sekolah di Jakarta dengan kasus pelecehan seksualnya. Kalau sudah begitu tentu bukan saja anak yang sakit fisik maupun mental, tetapi orangtuanya juga.
Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana membedakan kejadian yang menyakitkan dan tidak menyakitkan atau dalam tren sekarang masuk kategori “bullying” (perundungan) pada anak sehingga berpotensi menjadi trauma berkepanjangan? Saya paham bahwa TK itu tempat banyak anak kecil, yang sejatinya anak kecil gampang nangis, pasti ada aja yang nangis tiap harinya, tetapi tetap harus menjadi perhatian kita. Ketika anak itu menangis karena berantem-beranteman sama temannya atau karena pensilnya diambil, apakah itu membuat trauma atau tidak dan yang paling penting bagaimana mencegahnya?
Oleh karena itu ada beberapa hal yang menurut saya bisa dilakukan untuk mencegahnya, sebagai berikut:
Pertama, guru dan orang tua harus memahami makna dan contoh bullying. Ini bisa dilakukan dengan mengadakan seminar yang mengundang nara sumber di bidang itu dengan peserta guru dan orang tua. Seminar seperti ini pernah dilakukan oleh TK anak saya. Kebetulan saat itu yang ikut seminar adalah istri. Ketika semua orang paham makna bullying, maka seharusnya dia bisa membedakan yang menyakitkan bagi anak sehingga membuat trauma dan yang tidak. FYI dari istri saya semalam, dalam seminar itu disampaikan oleh nara sumber bahwa bullying adalah tindakan menyerang dalam bentuk perbuatan kasar ataupun perkataan halus, namun memiliki efek menyakitkan atau membuat tidak nyaman. Dan sebagai catatan, bullying dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman sebaya, teman beda umur, guru, maupun orang tua.
Kedua. Orang tua harus memperhatikan laporan atau celoteh anak tentang kejadian di sekolah. Jika dianggap berat, apakah dilihat dari jenis kasus atau dilihat dari intensitasnya, maka segeralah berbincang dengan pihak sekolah, begitu pula sebaliknya, ketika guru merasa perlu melaporkan dan berdiskusi dengan orang tua tentang kelakuan anak. Saya pernah punya pengalaman, ketika mencari sekolah untuk anak saya, ada perbincangan antar guru di sekolah itu tentang siswa yang suka memanggil temannya dengan “Kamu orang miskin ya!”. Karena kejadian berulang, maka pihak sekolah memanggil orang tua dari anak itu.
Ketiga. Beri pengertian pada anak untuk tidak menyakiti temannya. Ini penting, karena terkadang anak yang masih kecil tidak sadar kalau yang dilakukannya itu menyakitkan. Kadang juga kita merasa tidak pernah mengajarkan yang jelek pada anak yang dapat menyakiti orang, tetapi anak kita melakukan hal itu. Contoh, anak saya yang kecil tiba-tiba di depan saya membungkuk, terus dia buang angin, sambil ketawa-tawa. Heh!?! saya dan istri bingung, ini anak siapa yang ngajarin buang angin depan orang? Semua anak punya potensi berbuat jelek, oleh karena itu kita patut mengingatkan, karena kita sebagai orang tua juga bertanggung jawab atas hal itu.
Keempat. Orang tua dan guru harus memberi contoh yang baik pada anak. Kebiasaan orang tua di rumah akan terbawa ke sekolah, seperti cara makan, meminta tolong, meminta maaf, permisi dan lain sebagainya, begitu pula kebiasaan guru, termasuk cara memperlakukan teman sebaya, yang lebih tua, dan yang lebih muda. Semakin banyak kita memberikan contoh baik kepada mereka, insyaAllah semakin banyak perilaku baik yang mereka lakukan. Rumah dan sekolah adalah dua tempat di mana mereka meniru contoh-contoh itu dan menemukan role model bagi dirinya.
Bullying, menurut saya, menjadi hal yang menakutkan bagi anak dan menghawatirkan bagi orang tua, baik yang punya anak kecil, yang sudah remaja, ataupun yang sudah dewasa. Khusus yang punya anak kecil, tentu kita tidak ingin anak mengalami pengalaman yang menakutkan dan membuatnya trauma. Ketika trauma itu berkepanjangan yang ada di benak kita adalah bagaimana mentalnya, bagaimana proses belajarnya, dan bagaimana masa depannya, apakah nyaman di sekolahnya, apakah nyaman di rumah. Perasaan khawatir kitapun akan bertambah tatkala melihat berita di TV atau membaca di media cetak atau dunia maya tentang bullying yang kerap terjadi. Oleh karena itu sedari dini pencegahan harus dilakukan, baik dari pihak lembaga maupun orang tua, dan tentunya kerjasama antar keduanya, agar tercipta rasa aman dan nyaman bagi anak-anak kita dan dunia mereka, seperti kata mendiang Michael Jackson dalam kutipan lirik lagunya yang berjudul Heal The World: Make a better place for you and for me!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H