Oleh: Ahmadi Fahthurrohman Dardiri
Buku : Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama Lain
Penulis : Mun’im Sirry
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun : 2013
Tebal buku : lxxxiv + 453 halaman
ISBN : 978-979-22-9645-7
Selama ini, penggalian makna al-Qur’an masif pada sisi kehidupan umat manusia. Tidak terhitung banyaknya ragam tafsir dengan beragam tema yang mengejawentahkan makna 6000-an ayat al-Qur’an. Beragam tema itu, antara lain ingin mengetengahkan gagasan kontemporer; salah satu yang cukup kontroversial adalah menyoal klaim otentisitas doktrin agama lain. Lantas, bagaimana kitab suci umat Islam ini menempatkan diri pada fakta tersebut?
Secara tekstual, banyak ayat dalam al-Qur’an yang saling menegasikan. Beberapa menegaskan status “hanya Islam” agama yang diridhai di sisi Allah, dan karenanya mencari agama selain Islam tidak diterima (QS 3:19, 85 dan 5:3). Beberapa lainnya menegaskan sikap inklusif al-Qur’an terhadap ahl al-kitab (QS 2:62 dan 3:63), di samping juga sikap ofensif-sinis terhadap mereka (QS 2:120 dan 3:71).
Buku berjudul Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformasi Atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama Lain karya Mu’im Sirry mencoba mengurai persoalan tersebut. Berpijak pada asumsi kemustahilan sikap medua al-Qur’an, buku ini menghindari posisi ekslusif maupun inklusif sebagaimana marak dalam tafsir al-Qur’an. Memposisikan diri di antara dua kubu tersebut, buku ini memperkenalkan ayat-ayat polemik al-Qur’an sebagai main core kajiannya. (hlm. xxiii-xxv)
Selain dicermati secara analitis dengan merujuk pandangan kritis mufasir reformis kontemporer, sisi polemik al-Qur’an diulas dengan pendekatan sejarah. Buku yang semula disertasi Mun’in Sirry di University of California Los Angeles (UCLA) berhasil menginventarisasi beberapa hal yang dianggap polemik tersebut.
Pertama, tuduhan al-Qur’an terhadap pemalsuan kitab suci. Setidaknya, terdapat dua kata kunci yang menggambarkan tuduhan al-Qur’an tersebut, yaitu kata harrafa (QS 2:75, 4:46, 5:13, dan 5:41) dan baddala (QS 2:59 dan 7:162). Kalimat yuharrifuuna al-kalima dalam QS 5:13, oleh Abul Kalam Azad dianggap bukan “merubah perkataan Allah” dalam arti leksikal, melainkan sekedar “penafsiran ayat suci secara sesuka hati mereka, sehingga merusak makna asal ayat.” Adapun kalimat fa baddala al-laziina zolamu qaulan ghaira al-lazii qiila lahum terkait klaim bahwa kitab suci sebelum al-Qur’an telah sepenuhnya dipalsukan dan diubah, menurut Jamaluddin al-Qasimi, hal tersebut terlalu mengada-ada. Al-Qasimi memberi contoh kabar kedatangan Muhammad dan adanya hukuman Rajam yang tercantum dalam Alkitab sebagai bukti validitas Alkitab di hadapan al-Qur’an. (hlm. 172-176)
Kedua, penolakan al-Qur’an terhadap konsep Anak Tuhan. Istilah Anak Tuhan disematkan pada Uzair (Ezra) dan Isa (QS 9:30). Ada dua term yang berarti “anak” dalam al-Qur’an, yaitu walad dan ibn. Kata pertama berarti anak secara fisik, sementara kata kedua berarti anaknon-fisik. Penggunaan kata ibn dalam frasa Anak Tuhan yang disematkan kepada Ezra dan Isa, selain menegaskan keduanya bukan Anak Tuhan secara fisik, hal tersebut membuka kemungkinan penafsiran yang lebih sesuai. (hlm. 249-253)
Terhadap Ezra, pribadi mulia di kalangan Yahudi karena kemampuannya mengembalikan Taurat yang hilang, al-Qur’an dinilai telah salah sasaran. Pasalnya, dalam tradisi Yahudi tidak ada satupun konsep tentang, “Ezra adalah Anak Tuhan.” Peliknya konsep “Ezra adalah Anak Tuhan”, oleh Hamka dimaknai realistis. Berpijak pada penggunaan kata ibn (anak non-fisik), Hamka menilai frasa Anak Tuhan pada Ezra sebagai lambang kedekatan Ezra kepada Tuhannya. (hlm. 264-266)
Terkait konsep Anak Tuhan yang disematkan kepadanya, Isa mengaku tak pernah menyatakan hal tersebut kepada umatnya (QS 5:116). Di sisi lain, statemen Isa adalah anak Maryam dalam al-Qur’an justru terulang 7 kali, yang lebih banyak dibandingkan statemen Isa adalah Anak Tuhan yang hanya terulang sekali (QS 9:30). Apa yang termuat dalam al-Qur’an tersebut, seharusnya menjadi sinyalemen bahwa frasa Anak Maryam lebih layak disematkan kepada Isa dibandingkan frasa Anak Tuhan.
Ketiga, penolakan al-Qur’an terhadap konsep Ketuhanan Yesus. Dalam QS 5:17 dan 72, al-Qur’an dengan tegas menolak konsep ketuhanan Yesus. Yang menjadi pertanyaan, konsep Yesus yang dimaksud di dalam al-Qur’an, apakah konsep Kristen Monofisit ataukah Nestorian? Kristen Monofisit percaya Yesus memiliki unsur ilahi yang lebih dominan dibanding unsur kemanusianya. Adapun Kristen Nestorian berpandangan bahwa Yesus memiliki unsur ketuhanan dan manusia, namun keduanya tidak menyatu. Di sisi lain, Konsili Kalsedonia (451 M) memiliki doktrin serupa Nestorian, dan melabeli “sesat” setiap Kristen yang beraliran Monofisit. Ditengarai, pemahaman Yesus yang menjadi sasaran kritik al-Qur’an adalah konsep Monofisit, yang diikuti sebagian kecil Kristen yang tinggal di kawasan Arab. Meski belum final, sumber sejarah ini patut menjadi pertimbangan. (hlm. 273-275)
Keempat, penolakan al-Qur’an terhadap konsep Trinitas. Al-Qur’an menyinggung persoalan trinitas dalam QS 4:171, 5:73 dan 116. Menarik untuk disimak, mengapa konsep Trinitas dalam QS 5:116 menyertakan Isa dan Maryam sebagai Tuhan? Banyak kalangan menilai, konsep Trinitas yang disasar al-Qur’an bukan Trinitas mainstream Kristen, melainkan Triteisme (konsep tiga Tuhan). Perlu diketahui, semua kalangan Kristen menolak konsep Triteisme tersebut.
Di sisi lain, jauh sebelum kedatangan Islam, di dalam Kristen terdapat kelompok sempalan pemuja Maryam yang disebut Collyridian. Sekte ini memuja Maryam dengan sesajen “kue kecil” atau Collyris. Sekte sempalan ini berbeda sama sekali dengan mainstream Kristen. Mereka berasal dari Thrace (Bulgaria) yang tersebar ke utara hingga Scythia (Crimea) dan selatan hingga Semenanjung Arab. Para peneliti menilai pemujaan kelompok Collyridian terhadap Maryam adalah yang menjadi sasaran kritik al-Qur’an terkait konsep Triteisme dalam QS 5:116. Namun demikian, belum ada bukti final keterpengaruhan al-Qur’an oleh sekte Collyridian tersebut. (hlm. 296-300)
Mewacanakan sisi polemik al-Qur’an mungkin tidak menjawab tuntas soal kemenduaan sikap al-Qur’an. Namun, setidaknya buku ini telah memberi angin segar bahwa sikap-sikap al-Qur’an yang tampak mendua dapat diurai dan dapat dijelaskan secara seksama. Semua itu tidak terlepas dari cara pandang terhadap al-Qur’an yang tidak melulu soal ketuhanan, melainkan sisi sosiohistoris yang melekat padanya.
Ahmadi Fathurrohman Dardiri, Mahasiswa Agama dan Filsafat (AF), Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H