Memarahi anak, kadang menjadi salah satu cara meluruskan perilaku anak yang kurang tepat. Bahkan, dalam beberapa kondisi, marah justru dibutuhkan, seperti ketika anak tidak bisa dibenahi dan dinasehati dengan cara yang lembut.
Tapi sayangnya, seringkali marahnya orang tua tidak beralasan. Bahkan tidak jarang, marahnya orang tua bukan karena kesalahan anak, tapi murni masalah orang tua yang dilampiaskan kepada anak.
Coba kita, sebagai orang tua, menghitung berapakali pernah memarahi anak. Dari jumlah marah tersebut, bandingkan berapa jumlah marah yang murni disebabkan kesalahan anak dengan marah yang murni masalah kita, orang tua.
Tidak jarang, ada orang tua yang menjadikan marah kepada anak sebagai hoby. Saya katakan hoby karena memang bukan kesalahan anak, tapi murni kesalahan orang tua.
Contoh kasus ke-1:
Anak usia setahun, awal bisa berjalan, biasanya akan merayakan kemampuan berjalannya dengan mondar mandir kemana pun dia suka. Secara naluri, dia akan menunjukkan kepada dunia bahwa dia sudah bisa berjalan. Tapi sayangnya, ada saja orang tua yang tidak bisa memahami dunianya. Sehingga aksi jalannya mondar-mandir itu dianggap merepotkan dan 'nyusahin'. Setelah merasa kerepotan, orang tua akan menarahi anaknya.
Dari kasus diatas, sebenarnya anak tidak salah hingga dimahahi orang tuanya. Tapi, justru orang tualah yang yang salah, karena tidak bisa memahami dunia anaknya.
Jadi, ketidakfahaman orang tua tentang dunia anak yang menyebabkannya memarahi anak.
Contoh kasus ke-2:
Selepas kerja seharian penuh, biasanya kita merasa letih, baik pikiran maupun badan. Secara emosi kita tidak mau diganggu karena istirahat. Tapi satu sisi, anak yang kita tinggal sehatian dirumah merasa butuh untuk bercengkrama dengan kita. Jika kita tidak bisa memahami kebutuhan anak, pasti kita akan memarahinya. Kita anggap semua itu menjengkelkan.
Dan masih banyak lagi kasus anak menjadi tempat pelampiasan amarah orang tua, padahal anak tidak melakukan kesalahan.