Pendidikan Islam masih menghadapi berbagai persoalan, baik yang bersifat teoritis konseptual maupun praktis. Hal ini terbukti dengan maraknya kekerasan mengatasnamakan Islam, terlebih dengan kehadiran Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS), al-Qaeda, Taliban dan sebagainya. Fenomenan ini memerlukan pemikiran yang lebih mendalam tentang persoalan epistimologis, filosofis dan metodologis dalam pendidikan Islam. Pemikiran-pemikiran intelektual Islam tentang pendidikan perlu dihidupkan lagi.
Salah satu tokoh pemikiran Islam yang perlu dihidupkan pemikirannya adalah al-Farabi. Dalam sejarahnya tokoh besar ini tidak begitu ditampakkan pemikirannya tentang pendidikan Islam, tokoh ini lebih terkenal dengan filsafat, metafisik, politik (kenegaraan), dan musik. Padahal al-Farabi juga bisa dikategorikan sebagai tokoh yang mampu mengkonstruksikan pemikiran filsafat dalam praktek pendidikan Islam. Hal ini bisa dilihat dari sejarah hidupnya di mana al-Farabi menghabiskan masa kanak-kanak dan pendidikan dasarnya di Farab. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Bukhara dan menempuh pendidikan tinggi di Baghdad.
Di Baghdad, al-Farabi mempelajari bahasa Arab dan Yunani, ia belajar tata bahasa Arab dari ahli linguistik, Abu Bakr ibn Saraj. Ia kemudian memperdalam kajiannya pada ilmu filsafat kuno, terutama pemikiran Plato dan Aristoteles. Sebelum menetap di Bahgdad, al-Farabi telah berkeliling ke berbagai daerah seperti Iran, Mesir dan India. Setelah 40 tahun lebih berada di Baghdad kemudian ia tinggal di Turkistan. Di sinilah ia melahirkan karya terkenal at-Ta’lim ats-Tsani. Karena itulah ia mendapat julukan sebagai “mu’allim ats-tsani” dari Timur (guru kedua dari Timur).
Pada berikutnya, al-Farabi menuju ke Syria dan bermukim di Aleppo. Ia mempelajari filsafat Aristoteles dan logika di bawah bimbingan fulsuf terkenal, Abu Bishr Matta ibnu Yunus. Pengetahuan filsafat Platonik dan Aristotelian ia padukan dengan ajaran Islam. Selain ilmu filsafat, ia juga mengembangkan ilmu musik dengan baik, termasuk juga ilmu aritmatika, fisika, kimia, medis dan astrinomi. Dari berbagai ilmu yang ia kuasasi, ia sering disebut sebagai seorang multidisiplin keilmuan.
Sebagaimana Plato, al-Farabi menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mencapai keadilan di dalam negara dengan pemimpin yang bijaksana. Oleh karena itu, pendidikan dan politik tidak dapat dipisahkan. Pendidikan harus juga memperhatikan terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera.
Al-Farabi juga dikelompokkan sebagai filsuf neoplatonis karena mampu membuat sintesis pemikiran Plato dan Aristoteles. Ia memahami pemikiran kedua filsuf Yunani tersebut dengan membaca karya-karya Plato dan Aristoteles dengan berulang kali. Menurut filsuf Majid Fakhry, al-Farabi membaca On the Soul 200 kali dan Physics 40 kali. Dengan itulah ia mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti tentang penciptaan dunia, kekekalan ruh serta siksa dan pahala di akhirat.
Al-Farabi tak hanya mampu memahami pemikiran Plato dan Aristoteles, tetapi juga mampu menuangkan pemikiran filsafatnya ke dalam kitab Fushush al-Hikam yang hingga kini masih menjadi buku teks filsafat di berbagai perguruan tinggi. Ia juga menuangkan pemikirannya ke dalam kitabal-Ihsha’ al-‘Ulumyang menjabarkan klasifikasi dan prinsip dasar sains secara unik dan cerdas. Maka tak heran jika pemikirannya memengaruhi para pemikir sesudahnya seperti Ibnu Sina, Abu Sulaiman as-Sijistani, Abu al-Hasan Muhammad ibn Yusuf al-‘Amiri dan Abu Hayyan al-Tauhidi.
Al-Farabi juga melahirkan karya terkenal Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (model kota idaman). Dalam kitab ini ia menulis negara ideal bagi Muslim adalah negara yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan warganya. Selain membantu warga menjalankan ajaran agama dengan baik, pemimpin ideal bagi negara Muslim menurut al-Farabi adalah raja yang memiliki pengetahuan tentang filsafat. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan tinggi, menguasai sains, filsafat dan ilmu agama.
Dari pengembaraan hidupnya ini, al-Farabi lebih dikenal sebagai seorang filsuf yang mampu menghadirkan ide-ide Aristoteles, sehingga ia dijuluki sebagai Aristoteles kedua dari Islam. Dalam ilmu pengetahuan, al-Farabi memberi inspirasi bagi umat Islam untuk memperoleh ilmu atau menjadi ilmuan dalam bidang-bidang tertentu sejauh yang ia capai. Al-Farabi telah berhasil membuka jalan kepada kunci ilmu pengetahuan, di mana karenanya, umat manusia memperoleh manfaat yang ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H