Walaupun sempat ragu, Wira akhirnya mantap dengan keputusannya. "Tidak ada salahnya untuk dilakukan." Begitu tutur kata hatinya.Â
Sabtu pagi itu, ia pergi bersama sang sahabat ke suatu tempat di daerah Puncak. Dengan mengendarai mobil sang sahabat, Wira yang penasaran berkeinginan melihat secara langsung shelter yang kerap dibicarakan sang sahabat.
Sesampainya di sana, Wira diperkenalkan dengan pimpinan komunitas tersebut. Mereka memanggilnya ustadz meski sebenarnya ia bukanlah benar-benar ustadz. Ia hanyalah seorang muslim biasa yang berusaha mengkaji dan menganalisis fenomena dunia saat ini dari sudut pandang agama. Jika kemudian ia mendapat pengikut, itu hanyalah konsekuensi logis dari diterimanya sebuah pemikiran atau pemahaman di tengah masyarakat.
Ia mengakui apa yang mereka lakukan adalah legal dan formal. Sebagai organisasi kemasyarakatan, komunitas mereka sudah terdaftar dan mengantongi izin dari pemerintah. Mereka juga sudah melapor ke RT dan RW setempat sejak awal berada disitu. Warga sekitar juga tahu keberadaan dan aktivitas mereka. Semua transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi.Â
Meski ada berbagai nyinyiran yang sampai ke telinga mereka seperti julukan orang-orang tidak waras, panitia akhir zaman, dan sekte kiamat, sang ustadz dengan santai menanggapinya. "Itu bukan masalah. Siapapun boleh berpendapat." Ia dan komunitasnya tetap konsisten pada apa yang diyakini.
Dalam perjalanan pulang, Wira dan sang sahabat berdiskusi kembali banyak hal.
"Mengapa mereka bisa yakin dengan berbagai macam persiapan yang dilakukan?" tanya Wira.
"Eskatologi," jawabnya.
"Apa itu?" timpal Wira.
"Ilmu akhir zaman yang ditinjau dari sudut pandang agama tertentu. Misalnya eskatologi Islam memberikan pandangan dan panduan tentang akhir zaman berdasarkan kitab suci dan petunjuk nabi. Mereka percaya akan hal itu. Itulah sumber kekuatan pendorong dan penggerak utama mereka," paparnya.