Sebelum pandemi merebak, kehidupan Dino bisa dibilang cukup ideal. Dia punya usaha yang maju, istri yang muda dan cantik, rumah, kendaraan, simpanan di bank, dan barang-barang berharga lainnya. Selain itu, ia juga bisa dibilang punya status sosial yang terpandang, relasi bisnis yang luas, dan reputasi yang disegani.
Namun setahun pandemi berlalu, semua berubah total. Dino tak pernah menyangka pandemi akan berlangsung selama dan separah itu. Alih-alih berharap pandemi segera berakhir, yang terjadi malah sebaliknya. Kondisi semakin lama semakin memburuk dan tak terkendali. Hal-hal di luar ekspektasi terjadi begitu saja tanpa pernah diduga sama sekali. Bak kanker ganas, pandemi menggerogoti seluruh lini hidupnya secara masif dan kronis.
Usaha dan bisnisnya kolaps dan mati suri. Sementara tabungan di rekeningnya terus menipis dan dipastikan habis. Saat bersamaan, tagihan dan utangnya mulai menunggak. Akibatnya mau tak mau berbagai aset dan kepemilikannya terpaksa dijual satu per satu guna menutupi defisit dan kekurangan agar tetap bisa survive dan bertahan hidup.
Kondisi itu diperparah lagi saat sang istri yang berbeda usia 14 tahun lebih muda darinya, pergi meninggalkannya. Tak sampai disitu, istri mudanya itu menggugat cerai dan menuntut harta gana-gini dari pernikahan mereka yang hanya berlangsung selama dua tahun tersebut.
Tak lama berselang, sebuah peristiwa duka lara terjadi. Sang ibu, orangtua satu-satunya yang masih ada, berpulang ke hadirat-Nya. Sebagai pasien komorbid, beliau telah berjuang keras melawan virus mematikan yang menginfeksi tubuhnya. Namun Tuhan berkehendak lain.
Menghadapi berbagai musibah yang datang silih berganti, Dino berusaha untuk tetap sabar dan tegar. Namun saat beban itu dirasa kian berat dan memuncak, sulit baginya untuk bisa terhindar dari stres. Ia terus meratapi nasibnya yang begitu malang dan merasa tak berdaya dengan semua yang menimpa dirinya. Juga seakan tak mampu untuk bangkit dari keterpurukan karena didera masalah mental yang serius.
..........
Suatu hari, seorang sahabat Dino kebetulan lewat di daerah tempat tinggalnya. Karena lama tak bertemu sejak pandemi, sang sahabat spontan memutuskan untuk mampir. Tak menyangka mendapat kunjungan ketika pembatasan mobilitas dan pergerakan diberlakukan selama pandemi, Dino menyambut baik dan senang dengan kedatangan itu.
Kepada sahabatnya, Dino menceritakan segala kesulitan dan kesusahan hidupnya. Mendengarkan pengakuan Dino, sang sahabat merasa terenyuh dan bersimpati seraya coba menguatkan serta mendoakannya agar segera bisa keluar dari masalah yang merundungnya.
Merasa khawatir pada Dino, sebelum pamit pulang sang sahabat berpesan padanya."Din, mohon jangan tersinggung ya. Kalau boleh saran, ada baiknya kau bertemu psikiater. Jangan pikirkan masalah biaya! Kau tidak perlu bayar. Katakan saja saya yang menyuruh datang. Dia kakakku sendiri," ujarnya sambil memberikan nomor HP sang psikiater.