Alkisah, keluarga van Deek baru pindah dari Bogor dan menempati sebuah rumah dinas di salah satu sudut kota Batavia di awal tahun 1907. Rumah itu memang diperuntukkan bagi pejabat pemerintah Hindia Belanda yang sedang dalam masa tugas. Mereka menempati rumah itu hanya berselang seminggu setelah ditinggal penghuni sebelumnya yang dipindahtugaskan ke Malang.
Seperti rumah dinas lainnya, Â pengelolaannya diserahkan pada warga pribumi setempat. Sapto sudah mengurus rumah itu selama sekitar lima tahun ketika keluarga van Deek datang. Sebagai kepala urusan rumah tangga, ia dibantu oleh seorang bawahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Ia memastikan kondisi rumah terawat dan tertata dengan baik. Begitu pula dengan penghuni rumah, mesti terpenuhi dan terlayani semua kebutuhan dan keperluannya.
Sapto Aji, biasa dipanggil Sapto, adalah keturunan Jawa asli. Karena kehidupan yang susah di kampungnya, ia memutuskan untuk merantau di usia 17 tahun. Di masa awal, ia bekerja di perkebunan milik pemerintah Hindia. Beberapa kali ia pindah perkebunan dalam kurun waktu enam tahun.
Karena penguasaan bahasa Belanda-nya yang lumayan, suatu ketika ia ditawari ke Batavia. Tanpa banyak pertimbangan, ia langsung menerima kesempatan emas itu lalu hijrah ke ibukota. Disana ia bekerja di salah satu kantor pemerintahan. Ia juga pernah bekerja di pelabuhan dan kereta api sebelum akhirnya mengurus rumah dinas seperti yang ia lakukan sekarang.
Meski Sapto masih mampu dan kuat melakukan pekerjaannya, ia terkadang mengajak Gani, putera keduanya yang masih remaja, untuk membantunya. Tujuannya tidak hanya mengisi waktu luang Gani tapi juga berbagi pengalaman dengan sang anak. Menurut Sapto, tidak banyak orang yang melakoni pekerjaan seperti ia di masa itu. Sehingga tak salah kiranya jika Gani melihat langsung seperti apa pekerjaan bapaknya.
Abduli Gani alias Gani, lahir, besar, dan tinggal di Batavia. Membuat dirinya lebih kental "unsur" Betawi-nya dibanding Jawa. Meski begitu, ia cukup mengenal budaya dan bahasa Jawa. Ia sekeluarga pernah berkunjung ke kampung halaman Bapak di Jawa meskipun hanya sekali.
Perawakannya seperti pria pada umumnya waktu itu. Wajahnya lebih mirip ibunya tapi pembawaannya lebih mirip bapaknya. Badannya cukup kekar karena sering membawa dan mengangkat bak-bak besar yang berisi ikan-ikan dari empang keluarganya untuk dijual ke pasar. Sebagai keturunan Betawi dari jalur sang ibu, ia diajarkan seni bela diri pencak silat. Selain sebagai olahraga juga untuk melestarikan budaya leluhurnya.
Sebagai selingan dari rutinitas hariannya, Gani dengan senang hati melakukan berbagai pekerjaan yang diminta dan dicontohkan Bapak di rumah dinas itu. Banyak hal yang ia pelajari dari Bapak. Walau sepintas tampak ringan, pekerjaan Bapak tidaklah semudah kelihatannya. Lima tahun bertugas di rumah itu, Bapak mulai agak jenuh tapi ia berusaha tetap membetahkan diri. Â
Namun apa yang Bapak lakukan sebenarnya sensitif dan membuat berang sebagian orang terutama sesama pribumi asli. Hubungan, kedekatan, dan pengabdiannya pada kaum kolonialis Belanda membuatnya dituduh sebagai antek penjajah, pengkhianat, pengecut, dll. Namun ia bergeming dengan berbagai hujatan itu seraya berdalih apa yang ia lakukan hanyalah sebatas profesi semata. Yang terpenting baginya, ia tetap seorang pribumi, nasionalis, dan anti penjajahan.
Di rumahnya sendiri, Gani sibuk membantu Emak mengurus empang yang menernakkan berbagai ikan air tawar seperti ikan mas, lele, nila, dan bawal. Meski punya pegawai, Emak sudah melibatkan Gani sejak kecil. Baginya, sebuah usaha keluarga kalau bukan anggota keluarganya sendiri yang meneruskan, lantas siapa lagi. Namun ia tidak memaksa Gani jika nanti ia memilih bekerja di bidang lain.