Ada dua nikmat yang kadang disia-siakan yaitu waktu luang dan kesehatan. Kutipan terjemahan hadits ini benar adanya khususnya poin kedua terkait musibah yang saya alami. Nikmat sehat seringkali tidak disadari dan baru dirasakan setelah ia hilang.Â
Minggu, 27 Desember 2020, saat bangun untuk subuh, kondisi badan saya sudah tak karuan. Tubuh lebih hangat disertai nyeri dan kaku pada pergelangan tangan dan kaki termasuk jari-jari tangan. Bergerak mulai susah terutama sholat sehingga akhirnya duduk saja.Â
Alih-alih menyangkal kena Covid-19, gejala-gejala yang muncul satu per satu malah sesuai sekali dengan info di media online. Kepala menjadi berat, badan terasa seperti masuk angin, dan ngantuk yang amat sangat. Daya tahan tubuh ambruk seketika dan hanya bisa tidur seharian. Kelopak mata seolah dilem, begitu susahnya bahkan hanya untuk melek. Walaupun tidak dites untuk memastikan tapi kalau sudah begini apalagi kalau bukan Covid.Â
Saat  makan siang tiba, nafsu makan khususnya nasi mendadak hilang. Terasa begitu mual saat baru sesuap nasi masuk. Bahkan aromanya saja benar-benar bikin enek. Anehnya sekaligus untungnya makanan yang lain masih mau. Syukurlah kondisi buruk terhindarkan karena tubuh masih ada asupan makanan seperti kurma, biskuit, dan susu.Â
Lidah juga terasa begitu pahit. Setelah dilihat dengan teliti, ternyata ada bintil putih seperti jerawat di pangkal lidah. Menurut info online, ini juga bisa jadi tanda infeksi Covid. Muncul juga bintik-bintik merah pada kaki dan telapak kaki. Juga ada sedikit ruam di wajah dan mata merah semakin menambah kuat dugaan positif virus Corona.Â
Satu harapan waktu itu agar istri dan anak tidak ikut kena. Namun, takdir berkata lain. Saat pagi anak perempuan saya masih baik-baik saja. Dan itu membuat saya cukup lega. Tapi selepas tidur siang, dia mulai merasa tak enak badan. Gejalanya mirip saya. Badan hangat, susah gerak, dan ngantuk berat. Akhirnya cuma bisa tidur saja. Bertambah kekhawatiran saya dan hanya bisa pasrah.Â
Bersyukur istri masih sehat tapi itu pun tak lama. Masuk maghrib, dia juga mulai ada keluhan. Kedua lutut kakinya terasa nyeri dan kaku terutama sebelah kanan. Badan juga terasa tidak enak. Jadilah kita saat itu klaster keluarga.Â
Sempat terpikir mau ke puskesmas atau rumah sakit. Berhubung kondisi badan sudah begitu lemah, niat tersebut diurungkan. Terbayang prosedur panjang menanti untuk melihat hasil tes dulu kemudian menunggu lagi apakah dirujuk atau cukup mandiri saja. Saat bersamaan kondisi tubuh sudah sangat drop.Â
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, diputuskan isolasi mandiri di rumah sendiri. Keluarga yang kami kabari mendukung keputusan tersebut. Juga dengan sukarela memberi bantuan baik material maupun non material. Belakangan tersiar kabar ada warga Depok bergejala Covid ditolak sepuluh RS rujukan karena penuh dan naasnya meninggal di taksi online.Â
Dari segi waktu, seolah musibah ini sudah "diatur dan dipersiapkan" sedemikian rupa. Mulai dari tetangga ada yang meninggal setelah positif Covid, lalu saudara, keponakan, dan orang tua yang semuanya OTG dan akhirnya giliran kami. Ditambah lagi akhir 2020 kasus Covid di Depok yang terus meningkat. Dari sini mungkin kami merasa tidak terlalu kaget dan panik dengan apa yang terjadi. Namun kalau boleh memilih, tentu kami mau tetap sehat saja tanpa Corona.Â