Waktu saya duduk-duduk di kantin kampus, ada pembeli minta dilayani pemilik kantin. Dia berbicara, “Pak, beli Aqua botol”. Si bapak kantin menyodorkan air mineral dengan merek ‘Aqua’. Si pembeli bilang, “Yang itu saja Pak. Yang biasa, jangan Aqua”. Saya cengengesan. Kemudian saya berpikir yang dimaksud ‘Aqua’ oleh si pembeli adalah air mineral apa saja, tapi bukan yang bermerek ‘Aqua’ (karena harganya paling mahal).
Menurut KBBI (2008), merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen, dsb) pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal. Jika tujuan merek untuk menjadikan sebuah produk terkenal, maka misi itu berhasil (pada beberapa merek produk). Mengingat kedahsyatan penggunaan nama beberapa benda karena penyebutan mereknya mampu bertahan hingga bertahun-tahun dan orang-orang sepakat mengerti.
Dalam bahasa Indonesia banyak kosakata yang terlahir dan terkenal gara-gara penyebutan mereknya. Sebuah benda dinamai bukan berdasarkan nama asli dari benda itu, melainkan berdasarkan kekerapan orang-orang menyebutkan merek produknya. Seperti air mineral, kita biasa menyebutnya aqua karena merek air mineral yang pertama muncul di Indonesia pada tahun 1984 (-sampai sekarang) adalah merek ‘Aqua’. Pedagang asong di halte, stasiun, terminal, dan pelabuhan yang menawarkan, “Aqua! Aqua! Aqua, Bu” padahal kadang yang ditawarkan bukanlah merek Aqua. Meskipun aqua berarti ‘air’, namun kata tersebut berasal dari bahasa Inggris, bukan dari bahasa Indonesia karena tidak terdapat dalam KBBI.
Kita menyebut ‘odol’ untuk mengacu pada pasta gigi. Padahal ‘ODOL’(dalam tulisan asli) adalah merek pasta gigi pertama pabrikan Jerman yang beredar di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Meski produk tersebut tidak lagi diproduksi, namun lidah kita terlanjur lentur menyebut pasta gigi sebagai odol. Untungnya orang-orang paham yang kita maksud dengan ‘odol’. Mungkin karena kekerapan penggunaan kata odol ini di masyarakat, menjadi alasan kata ini tercantum dalam KBBI edisi keempat tahun 2008.
Kita juga terbiasa menyebut celana berbahan kain katun kasar yang tahan lasak dan berlarik-larik dengan sebutan ‘levis’. Padahal jika kita lihat sejarahnya, Levi’s (dalam tulisan aslinya) adalah nama merek celana karya Levi Strauss yang awalnya diperuntukkan bagi para penambang di California, Amerika Serikat. Adapun nama bahan celananya disebut denim. Dengan kata lain ‘levis’ merupakan merek celana (Levi’s), bukan nama bendanya. Tetapi, apapun mereknya, kita menyebutnya levis. Karena sudah mendarah daging mungkin. Kata levis tidak terdapat dalam KBBI (2008), namun kata denim terdapat di dalamnya.
Ketika ke warung kita biasa membeli ‘Masako’ untuk mengacu pada bumbu penyedap masakan, dan penjualpun pasti langsung mengerti yang kita maksud. Coba bayangkan alangkah belibet jika kita membeli bumbu dapur bubuk tersebut tanpa menyebutkan ‘Masako’. Satu kata apa yang harus kita sebutkan dan mewakilinya?
Di sektor teknologi juga menyerap kata dari merek dagangnya. Salahsatunya kita mengenal ‘toa’, alat pengeras suara yang biasa terpasang di kubah mesjid atau ditengteng demonstran ketika berorasi. Apapun mereknya, benda pengeras suara yang menyerupai telinga itu kita sebut toa. Padahal ‘TOA’ (dalam nama aslinya) adalah salah satu merek dari alat pengeras suara.
Menanggapi fenomena bahasa ini, kita tidak perlu aneh. Bahasa bersifat arbitrer (mana suka) dalam hal penamaan benda. Kemudian nama benda itu dikonvensionalkan (disepakati) dalam penggunaannya. Kita menyebut ‘kursi’, benda untuk duduk yang berkaki empat dan bersandaran. Tidak ada alasan pasti dalam penamaannya. Hal yang pasti adalah setiap orang (di Indonesia) sepakat benda semacam itu disebut kursi. Inilah yang dimaksud arbitrer dan konvensional dalam bahasa. Hakikat sebuah kata adalah untuk menjelaskan sebuah konsep atau benda yang sama-sama dipahami baik oleh pembicara maupun lawan bicara.
Fenomena bahasa ini berdampak dua sisi. Pada satu sisi kita dimudahkan dengan penggunaan kata-kata yang sederhana untuk menunjuk sesuatu dan dipahami oleh kebanyakan orang. Pada sisi lain, secara tidak langsung kita mengiklankan produk tanpa dibayar. Sementara produk yang bersangkutan semakin terkenal seiring mereknya kita bicarakan. Untungnya dari merek-merek di atas, hanya Odol yang tercantum dalam KBBI. Mungkin perumus KBBI tidak mau dituding berpromosi. Tidakkah rugi menjajakan produk tanpa dibayar?
(Pikiran Rakyat, 24 November 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H