Indonesia sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah, memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan ekonomi global. Namun, salah satu tantangan utama yang terus dihadapi adalah ketergantungan impor yang tinggi, terutama pada barang-barang strategis seperti bahan baku industri, teknologi, dan pangan. Ketergantungan ini mencerminkan kelemahan dalam sektor industrialisasi nasional yang belum optimal dalam memenuhi kebutuhan domestik.
 Ketergantungan impor di Indonesia tidak hanya berdampak pada defisit neraca perdagangan, tetapi juga membuat ekonomi nasional rentan terhadap fluktuasi harga dan kebijakan internasional. Sebagai contoh, krisis pangan global dapat langsung memengaruhi harga komoditas di dalam negeri, yang pada akhirnya membebani masyarakat. Selain itu, dominasi impor bahan baku industri menunjukkan lemahnya pengembangan sektor hulu yang seharusnya mampu menopang industri manufaktur dalam negeri.Â
 Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, nilai impor Indonesia mencapai angka yang sangat tinggi, dengan sebagian besar berasal dari sektor industri. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi pertanian dan sumber daya alam yang melimpah, kita masih bergantung pada produk luar negeri untuk memenuhi kebutuhan dasar kita. Ketergantungan ini tidak hanya mengancam stabilitas ekonomi, tetapi juga mengurangi kemandirian nasional. (Badan Pusat Statistik (BPS), 2023)Â
 Salah satu akar masalah dari ketergantungan impor adalah minimnya pengembangan infrastruktur dan teknologi dalam negeri. Meski pemerintah telah melakukan berbagai upaya seperti program substitusi impor dan insentif untuk investasi lokal, hasilnya belum signifikan. Banyak perusahaan dalam negeri masih lebih memilih mengimpor bahan baku atau produk jadi karena biaya produksi lokal yang relatif tinggi akibat inefisiensi energi, birokrasi, dan kurangnya tenaga ahli.Â
 Infrastruktur yang kurang memadai menjadi penghambat utama bagi pengembangan industri. Jalan, pelabuhan, dan fasilitas transportasi yang tidak efisien membuat biaya logistik menjadi tinggi, sehingga produk lokal kurang bersaing dibandingkan produk impor. Selain itu, kurangnya investasi dalam R&D (riset dan pengembangan) juga membuat industri Indonesia sulit untuk berinovasi dan mengadopsi teknologi terbaru yang semakin memperparah ketergantungan pada barang dan jasa dari luar negeri.
 Dalam konteks industrialisasi, Indonesia menghadapi tantangan besar untuk memperkuat sektor manufaktur yang dapat menciptakan nilai tambah. Saat ini, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi oleh sektor primer, seperti pertanian dan pertambangan, yang cenderung mengekspor bahan mentah tanpa proses lanjutan. Padahal, dengan pengolahan lebih lanjut, produk tersebut dapat memberikan nilai tambah yang signifikan bagi perekonomian.Â
 Selain itu, keterbatasan akses terhadap teknologi mutakhir menjadi penghalang utama dalam proses industrialisasi. Banyak industri kecil dan menengah (IKM) yang kesulitan untuk bersaing dengan produk impor karena teknologi produksi mereka sudah ketinggalan zaman. Padahal, sektor IKM memiliki potensi besar untuk menjadi tulang punggung ekonomi nasional jika didukung oleh teknologi dan pembiayaan yang memadai.Â
 Penting juga untuk menyoroti faktor regulasi dan kebijakan yang sering kali menjadi kendala bagi pengembangan industri lokal. Regulasi yang tidak konsisten, tumpang tindih, atau terlalu birokratis sering kali menghambat investasi di sektor manufaktur. Sebagai contoh, kebijakan impor yang tidak terintegrasi dengan kebijakan industrialisasi sering kali justru memperburuk ketergantungan pada produk luar negeri. Oleh karena itu, perlu ada penyelarasan antara kebijakan untuk mendorong investasi dan kebijakan untuk mengurangi ketergantungan impor.
 Untuk mengatasi ketergantungan impor, diperlukan strategi komprehensif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah harus berperan sebagai fasilitator yang menciptakan ekosistem industri yang kondusif, termasuk dengan memberikan insentif untuk riset dan pengembangan teknologi lokal. Selain itu, pendidikan dan pelatihan vokasi harus diperkuat untuk menciptakan tenaga kerja yang kompeten dan sesuai dengan kebutuhan industri modern.Â
 Pendidikan dan pelatihan vokasi harus diperkuat untuk menciptakan tenaga kerja yang kompeten dan sesuai dengan kebutuhan industri modern. Di sisi lain, pelaku industri juga perlu beradaptasi dengan perkembangan global, seperti adopsi teknologi hijau dan praktik bisnis berkelanjutan. Tren global menuju ekonomi hijau memberikan peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor industri berbasis sumber daya terbarukan. Dengan potensi besar di sektor energi terbarukan, seperti tenaga surya dan biomassa, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sekaligus meningkatkan daya saing industrinya.Â
 Kerja sama internasional juga dapat menjadi solusi untuk mempercepat industrialisasi Indonesia. Namun, kerja sama ini harus diarahkan pada transfer teknologi dan peningkatan kapasitas lokal, bukan sekadar membuka pasar untuk produk impor. Indonesia perlu mencontoh negara-negara seperti Korea Selatan dan China yang berhasil membangun basis industri kuat melalui alih teknologi dan investasi strategis.Â