Ada beberapa fakta yang perlu dibahas satu per satu untuk mengerti akar permasalahan kerusuhan yang tidak kecil yang terjadi di Jakarta, Selasa 22 Maret yang lalu. Kerusuhan ini dipicu oleh keresahan pengemudi taksi konvensional terhadap keberadaan pengemudi kendaraan pribadi yang beroperasi layaknya taksi. Kendaraan pribadi bisa beroperasi seperti taksi dengan didukung layanan tekonologi aplikasi daring (online). Keresahan itu berakibat protes massal pengemudi taksi konvensional. Rasa frustasi pengemudi kemudian dilampiaskan pada pengemudi kendaraan pribadi yang mengoperasikan kendaraannya sebagai taksi (Uber, Grab, dan Gojek). Namun, karena tidak mudah untuk mengidentifikasi taksi “gelap” dengan layanan daring, maka sebagian pengemudi taksi konvensional melampiaskan amarah mereka pada sesama pengemudi taksi konvensional, yang tidak ikut serta dalam protes massal tersebut. Berbagai linimasa (timeline) media sosial kemudian dipenuhi oleh komentar yang melihat kerusuhan ini sebagai konfilk kepentingan antara pengemudi taksi dengan penyelenggaraan layanan teknologi aplikasi daring (Uber, Grab, atau Gojek).
Cara memandang konflik seperti itu sebenarnya tidak sepenuhnya tepat, karena ada perbedaan skala kepentingan yang sangat mendasar antara pengemudi taksi konvensional dengan penyelenggara layanan taksi daring. Penyelenggara layanan taksi daring sesungguhnya adalah pengusaha dan pemilik modal besar, sehingga pertarungan (konflik) kepentingannya sesungguhnya lebih layak disetarakan dengan pengusaha (bukan pengemudi) taksi konvensional (Blue Bird, Express, dan sebagainya). Di lain pihak, pengemudi taksi konvensional sesungguhnya adalah karyawan perusahaan, yang konflik kepentingannya beradu langsung dengan pengemudi taksi daring. Skala yang kedua ini, yang melibatkan konflik antar pengemudi, sebenarnya lebih penting untuk diantisipasi, karena beberapa alasan di bawah ini.
Pertama, ada perbedaan kemampuan ekonomi antara pengemudi (karyawan) dengan pemilik usaha (pemodal). Kepentingan pengusaha umumnya didukung oleh kapasitas modal yang kuat. Di sini, kita tidak bicara mengenai taksi-taksi koperasi yang dimiliki oleh perorangan, tetapi perusahaan-perusahaan taksi yang armadanya ribuan, bahkan puluhan ribu. Tujuannya adalah mencari untung dan melipatgandakan modal. Karena modalnya kuat, mereka bisa bertahan bila dihadang kompetisi, dan sudah sepatutnya mereka berfikir keras bagaimana bisa memperbesar kekayaan dengan menghadapi persaingan usaha. Kepentingan pengemudi sangat berbeda dari kepentingan pemilik modal.
Sebaliknya, pengemudi umumnya bukan orang-orang yang kaya modal, sehingga pekerjaan mereka tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari, seminggu, atau paling lama sebulan. Tujuan pekerjaan pengemudi adalah bertahan hidup, bukan mencari untung dan melipatgandakan modal. Karena itu, seandainya pengemudi-pengemudi ini diganggu kesempatannya bekerja, besar sekali kemungkinan bahwa mereka akan kesulitan mencari lapangan pekerjaan lain dalam waktu sangat singkat. Walaupun mereka keras berusaha mencari pekerjaan lain, akan perlu waktu untuk mereka mendapatkan pekerjaan baru. Kehilangan pekerjaan selama satu minggu sekalipun sudah cukup untuk membuat hidup mereka menderita, karena jarang sekali pekerjaan mengemudi taksi bisa memberikan mereka kesempatan menabung untuk keperluan “jaga-jaga” semacam ini. Gangguan terhadap pekerjaan orang-orang kelas pekerja seperti pengemudi bisa punya dampak riil terhadap tingkat tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kebahagiaan. Saat mereka tidak lagi bahagia, mereka bisa resah dan kemudian membuat gejolak, yang mengganggu stabilitas nasional.
Kedua, ada asimetri (ketidakseimbangan) antara kepentingan pemodal murni dengan kepentingan publik. Layanan taksi daring umumnya didorong oleh kekuatan modal transnasional, sebagian berasal dari dalam negeri dan sebagian dari luar negeri. Kepentingan semacam ini saya sebut kepentingan modal murni, karena tujuannya hanya satu: mencari keuntungan sebesar-besarnya. Setiap rupiah atau dolar dari keuntungan usaha akan kembali kepada pemilik modal, yang belum tentu berada di Indonesia. Sebaliknya, usaha yang dimiliki oleh pemodal nasional, walaupun sebagian besar akan dinikmati oleh kalangan pemilik modal, akan diinvestasikan kembali dalam bentuk usaha-usaha lain di Indonesia. Karena itu, ada kepentingan publik terhadap usaha yang dimiliki secara nasional, karena keuntungannya bisa lebih menggerakkan ekonomi nasional.
Ketiga, ada asimetri antara kelas sosial dan kelas ekonomi antara pengemudi taksi konvensional dengan pengemudi daring. Pengemudi taksi daring sesungguhnya adalah pemilik-pemilik kendaraan pribadi yang menggunakan aplikasi telepon pintar untuk beroperasi selayaknya taksi. Perbedaan mereka dari pengemudi taksi konvensional bukan hanya dari tingkat pendidikan dan kemampuan menggunakan teknologi, tapi juga kemampuan modal untuk membeli kendaraan, yang tidak murah.
Karena itu, sungguh tidak adil bila masyarakat berpendapat pengemudi taksi konvensional adalah orang-orang yang selayaknya kalah berkompetisi, karena mereka tidak mau belajar. Seandainya pengemudi taksi konvensional punya uang yang cukup untuk membeli mobil, mungkin mereka juga akan menjadi pengemudi taksi daring, karena relatif mudah mempelajari aplikasi telepon pintar untuk keperluan ini. Yang menghalangi mereka melakukan hal tersebut adalah tiadanya modal, bukan kurangnya motivasi.
Derasnya dukungan terhadap layanan taksi daring di linimasa berbagai media sosial mencerminkan betapa kuatnya kepentingan kelas menengah. Mereka ini umumnya melek teknologi dan mampu secara ekonomi. Sayangnya, mereka juga miskin empati terhadap masyarakat kelas bawah.
Seharusnya, pemerintah punya peran lebih besar untuk mengantisipasi, memediasi, meregulasi dan akhirnya memberi solusi untuk konflik antar kelas ini. Pemerintah tidak hanya dipilih oleh mereka yang berasal dari kelas menengah, apalagi kelas pemilik modal. Sebagian besar pemilih justru adalah mereka yang berasal dari kelas bawah, tanpa atau sedikit modal, dan berpendidikan terbatas. Pemerintah seharusnya tidak tenggelam dalam wacana yang diusung warga kelas menengah, yang intinya mengharapkan pengemudi taksi konvensional mengikuti perubahan teknologi. Dalam jangka panjang, wacana seperti ini bisa diterima. Tapi itu tidak menghilangkan tanggung jawab pemerintah. Justru itu menimbulkan tanggung jawab baru untuk mengedukasi warga masyarakat kelas bawah, yang tidak menyelesaikan permasalahan jangka pendek. Sebaliknya pemerintah punya peran lain, yaitu perlindungan terhadap kepentingan ekonomi seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang ekonominya lemah.
Bentuk perlindungan ini tidak melulu dengan mematikan persaingan usaha, tetapi justru dengan menyamaratakan arena persaingan (leveling the playing field). Salah satu bentuk kesamarataan persaingan yang banyak dibahas akhir-akhir ini adalah kewajiban membayar pajak. Tingkat pajak yang diberlakukan kepada pengusaha layanan transportasi massal punya peran penting untuk menyamaratakan komponen biaya usaha-usaha yang sejenis. Kalau taksi konvensional dibebani biaya pajak yang tinggi sementara usaha taksi daring tidak dibebani pajak, maka pemerintah tidak memberlakukan kesamarataan bagi kedua jenis usaha sejenis ini. Usaha taksi daring akan bisa memberlakukan harga lebih rendah, dan merusak persaingan usaha. Ini bukan wacana yang hanya ramai di Indonesia. Perusahaan taksi daring semacam Uber dan Lyft sudah menjadi momok bagi kota-kota di negara asalnya di Amerika Serikat, karena keengganan mereka membayar pajak. Alasan persaingan usaha justru digunakan untuk tidak mau bersaing secara sehat, karena persaingan sehat dicirikan dengan komponen biaya yang serupa.
Yang lebih penting lagi adalah kesamarataan semua pelaku usaha di mata hukum. Apabila perusahaan taksi konvensional dibebani dengan persayaratan uji kelayakan kendaraan, maka layanan taksi daring perlu dibebani dengan persyaratan serupa. Begitu juga dengan persyaratan seleksi pengemudi.