Tertatih ia melangkah. Pada ketidakpastian ia berdiri, berlari tanpa arah. Sang purnama menghujani dirinya dengan cahaya remangnya, setidaknya memberikan sang puan sedikit alasan untuk bertahan. Menggenggam malam, ia berlari hingga ke tepi jurang. Keputusasaan, hidupnya bagai ditelan bumi pelan-pelan, menunggu dirinya untuk melawan. Harapan perlahan sirna, padam, dan hilang sejauh matanya memandang.
Arah laju kendaraan yang ia tumpangi sungguh tidak jelas. Padahal, ia terburu-buru, mendamba pada siluet sang fajar. Ia ingin melihatnya barang sekali saja. Namun, apa daya ia berpasrah, pada dunia yang seakan menahannya untuk terus berjalan. Tenggelam dalam lautan api emosi, dirinya hanya mampu menerka dan mencari jalan keluar dari lubang ilusi yang semakin menyeretnya pergi.
Begitulah dirinya. Hujan teman mainnya setiap hari, tetapi dia bertekad untuk berkawan dengan matahari. Bagai malam yang terus mengejar ujung pagi, ia senantiasa berlari, setia menunggu mentari untuk menunjukkan sedikit empati. Lantas, sang puan mengutuk diri, meratap, dan menggores luka tiada henti. Dunianya terasa sempit sekali. Hujaman tanya yang berkali-kali terlontar membuatnya membenci diri sendiri.
Jalan di depan dirinya berkelok-kelok, menampakkan segala macam konsekuensi atas pilihan yang akan ia buat. Namun, matanya tertutup. Ekspektasi menyelimuti tubuhnya dari atas hingga bawah, tidak membiarkan sang puan melihat arah jalannya bahkan sekali saja. Namun, sekali lagi ia bertahan, pada harap yang kian pupus perlahan-lahan. Ia tahu ia harus berjuang, dengan darah sebagai emisinya dan keringat sebagai buah tangannya. Melihat ke atas penuh rasa bangga, hatinya yang terdalam berkata ia iri, tetapi ia memilih menyimpannya, menahan, dan tidak membiarkan emosi menguasai.
Sesekali ia lelah, melawan mendung yang menutupi bulan, satu-satunya kawan untuknya di langit malam yang membutakan. Namun, ia sarat kuasa, tak dapat berbuat apa-apa selain berteriak keras pada semesta. Mengharapkan keajaiban kepunyaan angkasa, agar mereka melihat dirinya juga sanggup untuk memegang kendali penuh atas dunia miliknya.
Roda waktu tak pernah berhenti berputar, bahkan menunjukkan lelahnya saja tidak. Sang puan seakan dikejar oleh sang pemilik kosmos. Ke arah mana pun ia berlari, tak ada celah baginya untuk berlindung pada sang sepi. Akal pikirannya bagai labirin tanpa pintu keluar, lantas ia terjebak sendirian. Padahal, ia hanya ingin bertegur sapa pada sang siluet fajar. Seakan-akan buana menolak kehadiran dirinya. Arah langkahnya penuh keraguan, kini ia hanya mampu menunggu jawaban dari sang penguasa langit malam.
Alam merestui, membuat jalan bagi sang puan untuk ia lewati. Sekali-kali membuka tabir jagat raya, untuk dirinya mencari permata angkasa. Fajar menunggu dirinya datang, bersiap siaga di tempat ia biasa bersemayam. Alangkah gembira hatinya, melihat wujud yang ia dambakan semakin meraih dirinya. Senyum manis terlontar dari sang siluet fajar, menyapa, mempersilakan sang puan bernaung bersamanya. Lantas, galaksilah yang menjadi saksi akan janji yang mereka buat berdua. Menunggu satu sama lain hingga runtuhnya semesta, memeluk masing-masing tubuh untuk saling menjaga.
Siluet sang fajar menyingsing, menampakkan mentari yang bersinar dengan terangnya. Mimpi-mimpi bertaburan, menghiasi angkasa layaknya bintang-bintang di langit malam. Sekarang, tinggal sang puan yang menetapkan. Untuk memilih salah satu dari bintang yang bersinar itu dan membawanya pergi untuk menjadikannya cahaya harapan yang tak akan pernah padam. Bagi dirinya, dan bagi alam dunianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H