[Nurani Soyomukti, saat diundang sebagai Narasumber dalam program Mata Najwa di METRO TV]
Saya mengenal secara langsung Nurani Soyomukti sewaktu masih jadi mahasiswa di Jember, Jawa Timur antara 2003 hingga akhir 2006. Secara pribadi sebetulnya waktu itu, perkenalan kami tidak terlalu dekat. Karena kami beda kampus. Dan kami hanya bertemu pada momen-momen aksi demonstrasi jalanan atau kegiatan diskusi antara organisasi mahasiswa ektra kampus saat menyikapi isu-isu nasional.
Sejak mahasiswa, Nurani demikian kami memanggilnya, memang sudah aktif menulis di samping aktivitas gerakannya di organisasi kemahasiswaan. Yang belakangan, diketahui buku tulisan Nurani Soyomukti sudah puluhan, bahkan hampir 30 buku yang sudah diterbitkan oleh beberapa penerbit. Namanya kian mencuat setelah diundang di acara Mata Najwa Metro-TV edisi “Perempuan Jaman”, 22 April 2011. Itu tim kreatif acara itu menemukan bukunya yang berjudul “Perempuan di Mata Soekarno” di sebuah toko buku di Jakarta. Profilnya juga dimuat di Kompas, Jawa Pos, SINDO, juga Majalah Kabari yang terbit di kota Pensylvania Amerika Serikat.
Meskipun akhirnya kami tak saling kontak lama karena sibuk pada kehidupan domestik dan sosial masing-masing, tapi mengikuti perkembangan aktivitas Nurani tidak sulit. Sebab dia rajin mengup-date status facebooknya yang menceritakan kegiatan kesehariannya. Ketika dia berkunjung ke Jakarta, kami sempat bertemu lagi dua tahun lalu.
Nurani Soyomukti, lahir di Trenggalek, Jawa Timur. Saat ini, memilih tinggal dan beraktivitas di kampung tanah kelahirannya itu dengan cara mendidik masyarakat dengan pendidikan. Mengajak dan memprovokasi berbudaya baca sekaligus menulis, atau lebih sering disebut budaya literasi.
Setelah lulus dari Universitas Jember, Fakultas Hubungan Internasional, tahun 2006 Nurani hijrah ke Jakarta karena ditunjuk oleh organisasi gerakan buruh untuk duduk dalam kepengurusan pusat. Hingga akhirnya awal 2008, Nurani kemudian balik lagi ke kampung halamannya. Bermodal keyakinannya bahwa ia bisa bertahan hidup dengan cara menulis sekaligus berperan di kampungnya, ia benar-benar meninggalkan kehidupan perkotaan. Berbekal rasa percaya diri untuk terus mengirimkan tulisannya di berbagai media dan royalti dari buku-bukunya yang diterbitkan. Dua belas judul buku saat ia meninggalkan Jakarta, ia yakin bahwa hidup di desa akan membuatnya menemukan tempat yang lebih nyaman dan damai untuk menulis. Selebihnya ia ingin berperan apa yang ia mampu lakukan.
Beberapa kawan mengatakan bahwa kepulangan Nurani ke kampung halaman adalah karena sudah bosan dengan konflik di organisasinya yang menyebabkan perpecahan. Tapi di sebuah catatan yang ia tulis, dia mengatakan bahwa alasan dia tidak kerasan lagi tinggal di Jakarta, adalah karena masakan Jakarta sama sekali tidak cocok di lidahnya.
Di kampung halaman ia mulai membangun kontak dengan sudara, teman, dan siapapun yang dulu dikenalnya. Salah satunya adalah kepala desanya yang masuh tergolong muda, yang sebelumnya jadi teman diskusi dan ‘ngobrol’ ketika pulang kampung. Kedekatan itulah yang membuatnya dimintai bantuan mengaktifkan Karang Taruna yang agak lama vakum. Nurani mulai menghidupka organisasi, hal yang tak sulit dan memang menjadi kegiatannya ketika di Jember dan Jakarta sebagai aktivis.
Ia juga mengontak mantan gurunya yang dikenal sbagai guru yang suka menulis. Setelah memperkenalkan karya-karyanya, mantan gurunya yang menjadi kepala sekolah di SMP Negeri yang tergolong terpencil itu punya inisiatif untuk mengundangnya ke sekolah dalam acara di mana Nurani memberikan motivasi pada guru dan siswa-siswi untuk menulis. Semacam acara diklat dasar menulis.
Sehabis acara itu, ternyata pria berzodiak Virgo ini ditawari mengajar. Setelah sempat bingung, iapun menerima tawaran tersebut. Ia diberi tugas mengajar mata pelajaran Muatan Lokal dan seminggu sekali melatih ekstra-kurikuler Teater. Dari sinilah, Nurani yang berlatarbelakang kuliah bukan jurusan pendidikan kemudian harus transfer kuliah di kampus kependidikan agar ia punya ijazah yang sah untuk mengajar. Kampus STKIP PGRI Trenggalek dengan jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, itulah yang dipilihnya karena sebagai sarjana Ilmu Hubungan Internasional ia banyak menguasai bahasa Inggris.
Arisan Sastra: Tonggak Awal Pendidikan Literasi