Sore menjelang malam, saya diantarkan takdir--sebetulnya kalimat "takdir" disini saya maksudkan untuk menghindari  penulisan panjang dan njelimet kenapa sampai bisa ngopi bareng dan ketemu tetangga yang  saya maksudkan--untuk mampir dan ngopi bareng di rumah salah satu tetangga di lingkungan perumahan, dimana kami bertempat tinggal. Inilah yang mungkin dalam agama disebut, silaturrahim.Â
Membangun silaturrahim antar sesama, sebetulnya pekerjaan yang mudah dan sangat sederhana. Semua orang tanpa kecuali saya kira dapat melakukannya tanpa harus mengeluarkan banyak energi. Padahal janji pahala disana cukup menggiurkan dan  tidak ada salahnya dilakukan dengan Istiqomah dan berkelanjutan.
Mengingat cukup sederhana dan mudah dilakukan, mislalnya cukup memberi "salam" ketika bertemu tetangga. Atau paling maksimal, meluangkan sedikit waktu dan membuang rasa malu untuk sekedar "numpang ngopi" diwaktu luang kesesama tetangga. Maka jadilah silaturrahim itu.Â
Hal semacam ini, dibanyak lingkungan dan umumnya di kawasan perumahaan kelas "elit" menengah keatas, tentu menjadi barang mewah dan mahal. Bahkan mungkin takterjangkau untuk dimiliki penghuninya, yang rata-rata pulang kerumah hanya untuk sekedar istirahat dan bertemu keluarga. Tanpa pusing-pusing dan tak ada kesempatan sekedar menyapa, apalagi berinteraksi dan bertetangga dengan masyarakat sekitarnya.
Dalam kondisi semacam ini, maka wajar di daerah perkotaan, terutama yang tinggal di perumahan-perumahan elit, antar tetangga tidak saling kenal satu sama lain. Bahkan tetangga mau bagaimana dan seperti apapun, "masa bodoh".Â
Dalam situasi semacam ini, sebetulnya lebih mirip dengan burung-burung yang hidup di sangkar emas. Dimana sangkarnya tertutup rapat, dan masing-masing burung menikmati kondisi yang demikian. Bagi saya, ini adalah ancaman sosial yang sangat nyata dan membahayakan dan secara langsung akan menggerus sisi-sisi kemanusiaan.
Maka tidak salah, jika salah satu sahabat yang lama berkecimpung di dunia properti bilang, bahwa membeli rumah sesungguhnya juga membeli sebentuk suasana dan kondisi sosial dilingkungan yang terbentuk/akan terbentuk didalamnya.Â
Tidak hanya sebatas apakah rumahnya bagus secara kwalitas bangunan, punya pagar tinggi dan  mewah dengan harga yang terjangkau ataukah tidak. Tapi, apakah dilingkungan tersebut cukup hidup dan representatif sosialiasi, guyub dan rukun antar tetangganya untuk membangun tatanan sosial yang ideal, dst.
Kembali ke soal Silaturrahim, yang memang bermakna luas. Seluas hikmah dan kedahsyatannya. Saya mau berbagi dan sharing sedikit atas kedahsyatan itu.Â
Salah satunya, setelah ngopi bareng dan ngobrol santai tersebut, kami satu sama lain saling kenal lebih dekat. Sehingga program bersama--terutama berkaitan dengan soal keummatan dan program Musholla di perumahan kami berada--bisa disinergikan dan dilakukan lebih massif dan maksimal.
Dan yang tidak kalah penting lagi, selain kopi gratis dan suguhan sharingnya yang terkesan "ngalurngidul" tapi banyak hikmah dan faidah, tetangga saya ini memberikan 2 Bibit Pohon belimbing secara cuma-cuma.Â