Pernikahan dini merupakan proses hubungan yang melibatkan antara perempuan dan laki-laki dibawah usia 19 tahun. Permasalahan ini masih menjadi fenomena sosial yang masih banyak terjadi di seluruh penjuru Indonesia. hal ini sesuai dengan peraturan yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Yang berbunyi “Pernikahan dianggap sah apabila perempuan dan laki-laki telah mencapai usia 19 tahun”. Meskipun ada regulasi yang mengatur, pernikahan dini masih banyak terjadi di berbagai daerah terutama di wilayah dengan tingkat Pendidikan dan ekonomi yang relative rendah.
Indonesia menempati peringkat Ke-4 dalam pernikahan dini di dunia dengan jumlah 25,53 juta (UNICEF, 2023). Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir pernikahan dini di Indonesia mengalami penurunan 3,5%. Namun penurunan tersebut masih bisa di bilang rendah dan memerlukan upaya yang sistematis dan terpadu untuk mencapai target penurunan presentase yang lebih tinggi pada tahun-tahun berikutnya. Beberapa provinsi di Indonesia mempunyai presentase pernikahan dini yang cukup tinggi salah satunya Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan presentase 17,23% yang menjadikan NTB sebagai peringkat pertama di indonesia dengan kenaikan tertinggi dalam kasus pernikahan dini (KemenPPPA, 2023).
Pernikahan dini memiliki dampak yang signifikan terhadap kualitas SDM. Pernikahan dini seringkali mengakibatkan pendidikan terputus. Perempuan yang melakukan pernikahan dini cenderung menghentikan pendidikan mereka, yang berdampak pada kemampuan untuk berkontribusi dalam pengembangan negara karena dengan kualitas SDM yang rendah megakibatkan proses perkembangan visi indonesia emas 2045 menjadi terhambat dan terancam. Dalam sebuah studi kasus oleh UNICEF menunjukkan bahwa perempuan yang menikah dibawah usia 18 tahun memiliki kemungkinan 50% lebih tinggi untuk tidak menyelessaikan pendidikan di banding dengan perempuan yang menikah pada usia matang.
Pernikahan dini juga berhubungan dengan kesehatan reproduksi yang buruk. remaja menikah muda berisiko tinggi mengalami komplikasi selama kehamilan dan persalinan yang bisa menyebabkan resiko stunting pada anak. Terdapat banyak faktor mengapa pernikahan dini memiliki banyak kerugian terutama pada perempuan. Faktor utama paling sering di jumpai dengan tingkat usia yang belum matang Ibu beresiko mengalami kehamilan meliputi: Berat Bayi Lahir Rendah, anemia dan persalinan yang sulit. Dari segi ekonomi rendah sangat berpengaruh terhadap kehidupan sebuah keluarga yang memutuskan menikah pada usia dini. Indonesia memiliki jumlah pengangguran yang relatif tinggi berkisar 152 juta menurut laporan bulan agustus (Badan Pusat Statistik). Hal ini membuat keluarga yang terlanjur melakukan pernikahan di usia dini sangat terdampak. salah satu dampak yang paling menonjol dari segi anak yang dapat megalami resiko stunting, psiklogis, mental, pertumbuhan dan psikomotorik anak yang terganggu.
Stunting merupakan perkara kurang gizi kronis yg ditimbulkan kurangnya asupan gizi yang relatif lama, hal ini menyebabkan gangguan pertumbuhan dalam anak pada tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) menurut usianya. Menurut World Health Organization (WHO) stunting adalah gangguan pertumbuhan anak yang ditimbulkan oleh gizi buruk, infeksi yg berulang, & simulasi psikososial. (WHO, 2016) Kekurangan gizi kronis dalam anak stunting terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK) pada periode ini, otak & tubuh bayi sedang berkembang pesat, akibatnya apabila terjadi perkara gizi akan berpengaruh dalam perkembangan otak & tubuh bayi.Pemenuhan gizi pada 1000 HPK sangat penting, apabila asupan nutrisinya tidak dapat terpenuhi, maka dampaknya dalam perkembangan anak akan bersifat permanen. Anak stunting akan mengalami keterlambatan atau kegagalan pertumbuhan & perkembangan yang optimal. (Sumartini, 2020). Stunting mengakibatkan gangguan dalam empat aspek perkembangan antara lain perkembangan motorik kasar, motorik halus, bahasa & personal sosial. Keempat aspek perkembangan ini akan berkembang menggunakan baik sinkron menggunakan usia anak bila faktor-faktor menghipnotis perkembangan dalam anak pula ikut mendukung pada perkembangan anak. (Soetjiningsih, 2013) Penelitian dilakukan Hanani & Syauqi memamparkan bahwa output tes perkembangan kategori mencurigakan dalam anak menggunakan status gizi stunting mempunyai frekuensi lebih tinggi dibandingkan anak menggunakan status gizi non stunting. Hasil tes perkembangan dalam anak stunting masuk dalam kategori mencurigakan secara.berturut-turut.
Pertumbuhan dan psikomotorik anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara pertumbuhan anak dengan stunting sangat kompleks dan saling terkait dengan aspek psikomotorik. . Stunting tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik tetapi juga memiliki implikasi serius terhadap perkembangan dan psimotorik anak. Tindakan dini melalui peningkatan gizi dan stimulasi psikososial sangat penting untuk mencegah dampak jangka panjang dari stunting pada anak agar bisa menciptakan generasi muda yang unggul, berdaya saing, dan memiliki kualitas Sumber Daya Manusia yang optimal.
Dalam mengatasi hal ini tentunya membutuhkan solusi inovatif yang bisa meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga bisa meningkatkan kualitas sumber daya (SDM). SDM merupakan peran sentral dari pembangunan dibidang kesehatan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2021). Peningkatan SDM yang unggul harus ditopang dengan asupan gizi seimbang sejak dalam kandungan, hal ini dalam rangka menurunkan angka stunting dan terciptanya SDM yang berkualitas. Anak-anak yang mengalami stunting berisiko tinggi mengalami gangguan dalam perkembangan sosial emosional dampaknya adalah sumber daya manusia akan terhambat, akibatnya jika kekurangan sdm maka visi misi indonesia emas 2045 tidak akan tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H