Tentunya kita masih ingat seluruh rakyat Indonesia bersimpati dan mengampanyekan melawan asap yang diakibatkan kebakaran hutan yang diduga dilakukan orang tidak bertanggungjawab di beberapa titik di Indonesia. Berbagai penyakit timbul karena gangguan pernafasan, kerugaian miliaran Rupiah diderita karena perekonomian mati di daerah tersebut, anak-anak tidak bisa sekolah, dan masih banyak kerugian lainnya.
Masalah asap ini pun mendunia, karena media asing tertarik meliput kebakaran hutan yang menyebabkan beberapa negara tetangga juga harus menaggung udara kotor ini. Bahkan, saking gentingnya darurat asap, Presiden Jokowi mempersingkat kunjungan luar negerinya untuk memantau langsung ke salah satu titik lokasi kebakaran.
Atas adanya dugaan kesengajaan dalam kebakaran tersebut, berbondong-bondong masyarakat, aktivis, dan tokoh masyarakat meminta pemerintah segera menemukan pelakunya. Sampai akhirnya pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat PT BMH, salah satu anak perusahaan Sinar Mas Group yang diduga terlibat terkait kasus kebakaran hutan di Sumatera Selatan.
Namun semua harapan masyarakat yang menuntut keadilan untuk korban asap di Sumatera Selatan dan sekitarnya pupus di tangan para hakim Pengadilan Negeri Palembang. Seorang Parlas Nababan beserta dua hakim anggota lainnya menyatakan bahwa pembakaran hutan tidak merusak lingkungan hidup karena masih bisa ditanam lagi di kemudian hari. Hakim PN Palembang pun menolak semua gugatan perdata senilai Rp 7,9 triliun yang diajukan Kementerian LHK.
Sontak putusan ini membuat geger seantero negeri ini, salah satunya anggota Komisi III Asrul Sani yang menilai “kelakuan” Parlas dan kawan-kawan merupakan kegagalan Mahkamah Agung (MA) dalam membina para hakim. Selain MA, menurut Arsul, Komisi Yudisial juga dapat turun tangan untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Namun, keterlibatan KY hanya sebatas jika ditemukan adanya dugaan pelanggaran kode etik di dalam proses pengambilan keputusan itu.
Mantan Ketua KY Suparman Marzuki meminta komisioner KY bertindak cepat dan segera menginvestigasi putusan yang dinilai janggal tersebut. Menurutnya, tanpa adanya laporan dari masyarakat, KY bisa langsung memperlajari putusan tersebut benar berdasarkan fakta hukum atau hanya putusan subjektif belaka.
Ketidakpahaman hakim atas kasus kerusakan lingkungan ini juga didukung data dari Sahrul, peneliti dari Yayasan AURIGA Nusantara. Sahrul mengatakan bahwa majelis hakim tidak paham soal konsep lingkungan hidup dan kehutanan. Selain itu majelis hakim juga lalai memerhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kehutanan tentang pertanggungjawaban pemegang konsesi. Dia menjelaskan kewajiban pemegang izin menjaga area konsesinya sudah disebutkan dalam pasal 23 dan 24 PP 45/2004 jo PP 60/2009, di mana berbagai upaya yang harus dilakukan oleh pemegang konsesi dalam pencegahan maupun pemadaman secara menyeluruh.
Sahrul menegaskan, lebih parahnya lagi majelis hakim tidak melihat dampak kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada rusaknya ekosistem, beban biaya mitigasi karhutla, penyakit akibat karhutla, dan dari sektor perekonomian yang tersendat.
Sementara itu, tokoh masyarakat Hary Tanoesoedibjo menilai ketidakmampuan para penegak hukum dalam menjerat pelaku pengrusakan hutan ini disebabkan tidak adanya payung hukum yang secara spesifik menangani soal lingkungan. Dilansir akun facebook LangkahHT, Ketua Umum Partai Perindo ini para menyarankan legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus duduk bersama untuk mencari solusi terkait masalah ini. Karena, kasus pembakaran hutan ini sudah sering terjadi dan berpotensi akan lebih banyak kasus serupa jika tidak ada efek jera yang menjerat para pelaku. Dia pun menyarankan untuk membentuk peradilan khusus yang mengadili kasus perusakan lingkungan.
“pembentukan pengadilan khusus lingkungan dianggap perlu. Dengan adanya pengadilan khusus lingkungan ini, akan melahirkan penegak hukum yang tidak hanya memahami peraturan perundang-undangan tetapi juga benar-benar paham permasalahan lingkungan terutama dampak baik langsung maupun tidak langsung akibat pelanggaran hukum tentang lingkungan,” katanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H