Mohon tunggu...
ahmad fauzi
ahmad fauzi Mohon Tunggu... Buruh - Suka berpetualang dan mencari pengalaman baru

pengin beraktualisasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Netizen Sehat dan Cerdas Dimulai dari Sekolah dan Keluarga

12 Maret 2020   15:00 Diperbarui: 12 Maret 2020   15:01 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tragedi pembunuhan anak 6 tahun berinisial APA oleh NF (15 tahun) teman mainnya yang merupakan gadis remaja kelas 2 SMP di Sawah Besar, Jakarta Pusat pada 5 Maret 2020 lalu telah membelalakkan mata dan mata hati semua pihak.  Tentu yang paling terpukul adalah orang tua korban yang merupakan tetangga dekat dan akrab keluarga pelaku.  Melalui tulisan ini penulis sekaligus menyampaikan empati terdalam pada keluarga korban teriring doa semoga yang bersangkutan diberi kesabaran dan balasan yang lebih baik dariNya.

Pemerintah semestinya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas tragedi ini, melalui kementerian dan lembaga terkait semestinya pemerintah segera mengambil langkah-langkah yang komprehensif untuk mengadvokasi kasus ini.  Pakar-pakar IT, para pakar dan praktisi serta pemerhati pendidikan harus berperan aktif, kritis dan konstruktif untuk mencegah hal ini terulang atau mengalami derivasi.

Para pakar psikologi dan neurologi harus memeras kemampuan mereka untuk mendiagnosa patologi ini dan secara kritis membuat upaya-upaya healing atas semua gejala ini dan sejenisnya.  Dan tak kalah penting dan strategisnya adalah peran para tokoh agama untuk mentransformasikan ajaran agamanya agar bisa tertransformasi secara tepat menangani gejala-gejala nirakhlak ini.

Lembaga-lembaga Pendidikan baik formal maupun non formal dari tingkat Pendidikan dini sampai Pendidikan tinggi tentu merupakan pihak yang sangat strategis untuk bisa menjadi agen utama penyelesaian kemelut yang sangat ruwet ini.  Mengingat selama ini lembaga-lembaga pendidikan baik sekolah maupun pesantren menjadi tumpuan harapan orang tua dan masyarakat dalam mengisi dan membentuk sikap mental dan akhlak generasi penerus bangsa ini.  Lembaga pendidikan memiliki hampir semua subsistem yang diperlukan dalam mengemban tugas ini, baik kurikulum; anggaran; human capital serta sarana dan prasarana.

Era 4.0 yang sudah berlangsung sekian tahun masih saja menyisakan kegagapan pada berbagai pihak.  Kegagapan paling kronis tentu dialami oleh kalangan masyarakat awam yang “tergilas” oleh arus informasi dan teknologi informasi yang tak pernah mereka sadari sebelumnya.  Bahkan lembaga pendidikanpun yang semestinya menjadi pihak terdepan yang melek informasi dan teknologi informasi masih terseok-seok untuk mengikuti lesatan perkembangan teknologi berbasis internet ini.

Pemerintah yang bertanggungjawab mewadahi semuanya juga sering tak peka terhadap titik-titik kritis efek negatif teknologi informasi, sehingga regulasi dan kebijakannya sering terlambat muncul untuk mengantisipasi segala kemungkinan terburuk teknologi 4.0 ini.

Gadget yang berhasil merangsek masuk hingga ke jantung terdalam masyarakat dewasa ini, menjanjikan kemudahan yang tak terbendung bagi masyarakat untuk mengakses informasi.  Ia menjangkau semua kalangan tanpa kecuali, bisa dibilang anak dibawah kolong jembatanpun bisa menjangkaunya.  Semua aplikasi media sosial maupun game online bisa mereka akses.

Tragisnya, hal ini “menjajah” mereka sebelum mereka siap secara mental dan literatif untuk “menikmatinya”.  Seperti anak baru lahir yang disuapi sambal pedas oleh orangtuanya, karena orang tuanya merasakan nikmatnya sambal sehingga ia tak tega untuk membiarkan anaknya yang baru lahir untuk tidak merasakannya langsung.  Tragis bukan !.

Opsi-opsi yang selama ini ditawarkan untuk mencoba mengobati semua kemelut atas kegagapan teknologi 4.0 ini rata-rata didasari atas asumsi negatif terhadap “makhluk” baru tersebut.  Satu pihak menawarkan pembatasan usia pemberian gadget pada anak, sembari mengutip kisah Bill Gates dan Steve Jobs yang baru memberikan gadget pada anaknya saat menginjak 14 tahun.

Pihak lain menawarkan pembatasan durasi waktu memegang gadget pada anak tiap harinya, dan di pihak lain sama sekali tidak memperbolehkan anak bersentuhan dengan gadget seperti diterapkan diberbagai pesantren atau boarding school.  Meskipun adapula pihak tertentu yang melirik sisi positif penggunaan gadget bagi anak, bahkan seja masih balita.

Dalam hal ini penulis mencoba memberikan tawaran kritis untuk mengisi ruang positif atas fenomena gadget, agar masyarakat kita dan lebih spesifik anak-anak kita menjadi netizen sehat dan cerdas sejak dini.  Sebuah tawaran gerakan untuk bersinergi dengan gelombang gadget yang tak mungkin dilawan, tetapi harus dimanfaatkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun