Baru baru  ini isu kekerasan seksual kembali mencuat setelah muncunya video pengakuan mahasiswi yang menjadi korban pelecehan seksual oleh salah satu dewan pendidik di kampus tersebut.  Isu tersebut dengan cepat  menyebar dan menimbulkan kekecewaan, keprihatinan, dan kecemasan dari berbagai pihak.Â
Terutama dalam kalangan mahasiswa ,mereka berbondong bondong mengawal jalannya isu sampai diketahui titik terang. Â Semua media pun tidak ketinggalan untuk menyorot mengikuti setiap perkembangnnya, membuat masyarakat pun turut mendengar dan melihat betapa jelasnya bias gender yang sedang terjadi dalam dunia pendidikan.
Dunia pendidikan menjadi salah satu lingkungan yang dipandang tidak sepele oleh khalayak, karena secara umum diketahui oleh masyarakat hanya disana terdapat banyak manusia dengan latar belakang pendidikan yang tidak bisa dianggap remeh. Kemudian menjadi hal yang sangat meprihatinkan saat ada sebuah kasus pelecehan yang terjadi di dunia ataupun kalangan yang dalam tanda kutip berpendidikan.Â
Masyarakat akan kehabisan pikir, bagaimana seorang yang sam sama berpendidikan dapat melakukan hal tercela tersebut. Saat dalam dunia pendidikan, sebuah tempat untuk menambah pengetahuan di kotori oleh kasus yang menimbulkan keprihatinan maka dimana lagi ada ada sebuah tempat aman.
Mengingat sebelum adanya kasus ini sudah terdapat kasus kekerasan seksual yang terjadi dalam dunia pendidikan, seperti kasus yang dialamai salah satu mahasiswa UGM (Universitas Gajah Mada) pada tahun 2013.Â
Kasus kali ini menjadi pengingat lagi untuk terus menggiatkan pemahaman kesetaran gender untuk pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual. Kesetaraan gender  tidak bisa hanya diketahui teorinya saja, karena dalamkenyataanya sudah banyak yang mengetahui pengertian dan contoh penerapannya namun tidak banyak juga yang  belum diterapkan kepada dirinya maupun kepada sekitarnya.
Kasus yang banyak terjadi sampai saat ini didominasi perempuan sebagai korban maka dapat dikatakan bahwa hal ini merupakan suatu bentuk dari ketidakadilan gender.Â
Persoalan ketidakadilan gender atau diskriminasi gender yang muncul karena adanya bias gender yang memposisikan perempuan lebih rendah dibanding dengan laki-laki.Handayani mengatakan bias gender tidak terlepas dengan konsep gender. Gender merupakan suatu konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan.Â
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang dimaksud tidak dikarenakan adanya  perbedaan secara biologis atau kodrat, namun dikarenakan adanya perbedaaan yang  terbentuk menurut kedudukan, fungsi, dan peranan  dalam kehidupan bermasyarakat dan perkembangannya. Laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa, sedangkan perempuan diangap lemah-lembut, cantik, emosional, keibuan.Â
Pandangan mengenai laki-laki dan perempuan seperti itu sudah mengakar dan menjadi budaya masyarakat .
Dalam tulisannya Handayani mengatakan lagi bahwa  laki-laki dan perempuan memang diciptakan berbeda. Secara fisik- biologisnya, laki-laki dan perempuan memang berbeda. Laki-laki secara fisik- biologisnya memiliki suara besar, berkumis, berjenggot, dada yang datar, dan lain sebagainya.Â
Perempuan secara fisik-biologisnya memiliki suara yang lebih bening, buah dada yang menonjol, organ reproduksi yang berbeda dengan laki- laki dan lain sebagainya. Efek dari perbedaan fisik-biologi yang ada berpengaruh pada perilaku manusia yang memunculkan perbedaan relasi gender.
Hidup dan tumbuh dalam lingkungan sadar gender menjadi salah satu keberuntungan tersendiri. Namun tidak semua manusia lahir dalam keberuntungan yang sama. Meskipun begitu setiap individu diberi pilihan untuk sebatas jadi pengamat atau menjadi salah satu tokoh untuk menjadi perubah.Â
Perubahan tidak perlu dilakukan saat seorang individu sudah menjadi besar atau memiliki pengaruh. Hal kecil meskipun itu hanya kepada dirinya sendiri secara tidak langsung dan pasti akan mengubah satu dua hal meskipun itu sangat kecil. Lambat laun jika setiap individu melakukan hal yang sama, maka akan tercipta lingkungan yang sadar gender.
Dengan adanya lingkungan yang sadar gender akan semakin memperkecil kemungkinan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi, akan semakin sedikit pula yang menjadi korban. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah anggapan sepele atas adanya kasus pelecehan. Kasus pelecehan terkadang dianggap bukan hal yang penting untuk diperhatikan dan berlindung di balik kata bercanda.Â
Kata bercanda menjadi salah satu penyebab utama normalisasi pelecehan, padahal jika pelecehan sudah dinnormalisasi tidak menutup kemungkinan untuk pelaku melakukan hal yang lebih tercela lagi. Jangan hanya karena belum pernah menjadi korban jadi tidak ada empati, pelaku tidak dapat diperkirakan kapan akan datang. Karena setiap individu bisa menjadi pelaku dan bisa menjadi korban.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H