Mohon tunggu...
Ahmad Faisal
Ahmad Faisal Mohon Tunggu... Penulis - Indonesian Writter

Political Science FISIP Unsoed Alumnus. I like reading, writting, football, and coffee.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menara Kembar Toleransi Konteks Operasional dalam Hubungan Agama dan Demokrasi di Indonesia

17 April 2014   14:20 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:34 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397719188311476558

Oleh : Ahmad Faisal

Pengertian sekulerisme dalam arti sempit bukanlah esensi dari demokrasi.  Barangkali hal itu memang menjadi sebuah kondisi yang ideal termasuk di dalam konteks Indonesia.  Sekulerisme dalam arti sempit berarti memisahkan antara agama dan negara.  Ketika hal-hal yang berhubungan dengan agama dan negara dipisahkan, maka menurut saya akan terjadi sesuatu yang dinamakan dengan “jalur tanpa penerangan”.  Menurut saya, ketika sebuah jalur kehidupan bernegara yang di dalamnya ada interaksi sosial setiap warga negara dengan sesama warga negara lainnya-meskipun terpisah dalam konteks komunitas maupun berbagai organisasi sosial-memerlukan konsepsi agama sebagai “lampu terangnya” jika tidak ingin terbelenggu dalam kegelapan kehidupan bernegara.

Para bapak bangsa di Indonesia telah merumuskan dengan betapa pentingnya hubungan antara sekularisme dan agama.  Saat terjadi sekularisasi politik Indonesia, memang ada semacam keraguan dengan kesiapan bangsa ini menyongsong kemerdekaan.  Hal itu terlihat dari penyusunan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) yang disponsori oleh pemerintah Jepang dengan dominasi para politisi “sekuler” yang netral agama, sedangkan hanya 13 orang wakil golongan Islam dari 69 anggota yang semuanya diorientasikan dapat memerintah negara modern (dalam “Negara Paripurna”, hal.62).  Artinya, negara Indonesia akan menjadi negara modern yang akan mengalami singgungan antara sekulerisme dan agama.

Pada masa-masa menjelang kehidupan mandiri bangsa Indonesia, dengan adanya berbagai rumusan mengenai bagaimana nantinya bangsa ini menjalani kehidupannya, golongan agama khususnya Islam terlihat begitu “ngotot” dengan konsep dasar negara Islam-nya.  Hal ini terlihat dengan misalnnya penolakan atas rumusan dasar negara usulan oleh Soekarno yang meletakkan sila Ketuhanan dalam sila terakhir (dalam “Negara Paripurna”, hal.75), meskipun telah disebutkan oleh Soekarno bahwa itu baru sebuah rumusan.  Dalam hal lain, menurut saya, ada semacam egoisme dari golongan Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara utama.  Hal ini memang dikarenakan pada waktu itu terjadi kekhawatiran nantinya jika Pancasila akan dipandang dapat menggantikan peran agama dan terjadi ketegangan ideologis yang berbalutkan semangat politik identitas.  Sebab, ada kekaburan dalam melihat hubungan antara agama, Pancasila, dan negara.  Oleh karena itu, dengan adanya penghapusan “tujuh kata” dalam sila pertama Pancasila, semua golongan akan terwakili dalam hubungannya melihat negara, baik itu golongan Islam, Kristen, Katolik, maupun Hindhu-Budha.

Persoalan mengenai hubungan antara agama dan demokrasi menjadikan munculnya konsep twin tolerations atau menara kembar toleransi.  Maksudnya adalah situasi ketika institusi agama dan negara meyadari batas otoritasnya untuk kemudian mengembangkan toleransi terhadap fungsinya masing-masing.  Di tengah adanya fution (penggabungan) maupun separation (pemisahan), diadakan diferensiasi, yaitu sekulerisasi dipahami sebagai proses pembedaan (distinction) antara otoritas agama dan politik berdasarkan pemahaman bahwa masing-masing terhubung dengan ranah kehidupan yang berbeda secara konseptual (meskipun saling berhubungan) dalam tujuan, wacana, maupun tindakannya.

Dalam konteks operasional Indonesia, dengan berbagai latar belakang yang membedakan antara Indonesia dengan negara lainnya (Barat), maka sejatinya konsep penerapan yang ada pun hendaknya melihat konteks Indonesia.  Jika dalam ikatan sejarah terjadi berbagai macam perdebatan mengenai kontroversi agama dan negara yang akhirnya disepakati bahwa dasar negara Indonesia adalah Pancasila dan Pancasila bukanlah sebuah agama, maka demokrasi akan dapat berkembang.  Dalam sebuah seminar di Laboratorium Ilmu Politik sekitar tahun 2013, ada sebuah pernyataan yang mengemukakan bahwa demokrasi Indonesia terbuka bagi paham-paham apapun, tetapi tidak akan mengubah dasar negara menjadi Islam.  Hal itu menanggapi bahwa Demokrasi di Indonesia dianggap tidak dapat menanamkan Ketuhanan karena meskipun telah menanamkan Ketuhanan di sila pertama Pancasila, tetapi esensi Ketuhanan itu tidak dipratikkan dalam kehidupan, sehingga yang terjadi kebobrokan dan mental korupsi.  Namun, pendapat yang diungkapkan oleh pandangan Islam Liberal itu sangat terpengaruh dengan Islam luar Indonesia.  Mereka tidak memandang realitas sejarah bahwa Islam Indonesia tidak sama seperti Islam Arab, Suriah, maupun Mesir.  Islam Indonesia memiliki ikatan kebudayaan yang khas dengan pluralisme yang sangat menghargai toleransi setiap golongan.  Oleh sebab itulah demokrasi sebagai sebuah proses di Indonesia berjalan karena demokrasi pun menjadikan tuntutan dari berbagai ideologi yang ingin mengubah Pancasila sebagai kritik untuk memperbaiki proses perkembangan hubungan antara agama dan demokrasi di Indonesia.

Menurut saya, dalam konteks hubungan antara agama dan demokrasi ada pengaruh globaliasi.  Demokrasi yang meniscayakan adanya kebebasan setiap individu menghasilkan perilaku yang individualistik dan asosial.  Islam sebagai mayoritas agama yang dipeluk rakyat Indonesia belum mampu dicerna aspek sosialnya karena perilaku-perilaku masyarakat terpengaruh oleh arus global.  Sehingga yang tadinya budaya gotong royong menggema, sekarang yang terjadi justru perilaku individualis masyarakat yang bercorak egoisme.  Padahal, Gus Dur dalam buku yang berjudul “Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan” halaman 119,  mengungkapkan bahwa Islam sebagai etika sosial memiliki rukun sosial.  Di satu sisi menghasilkan perilaku asosial, di sisi lain juga menghasilkan perilaku yang sangat sosial, tetapi minus keimanan.  Artinya, masyarakat sendiri belum mencerna hubungan Islam dan sosial yang nantinya akan dapat mengembangkan demokrasi.  Karena jika perilaku asosial sudah sangat akut, tidak menutup kemungkinan paham-paham yang ingin menggantikan Pancasila akan lebih seru dalam bersuara karena karakter sosial (kegotongroyongan) telah menjadi karakter individualistik.

Oleh karena itu, twin tolerations di Indonesia agaknya sejalan dengan jargon bahwa Indonesia bukan “negara agama” dan bukan “negara sekuler”.  Seperti yang dikatakan oleh Roeslan Abdoelgani, bahwa negara secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama.  Tidak pula menyatu dengan agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama (dalam “Negara Paripurna”, hal.75).

Bibliography :

Arif, Syaiful. 2013.  Humanisme Gus Dur Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, Yogyakarta: Ar-Ruz Media.

Latif, Yudi. 2011.  Negara Paripurna Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun