Ini adalah soal hubungan antara mahasiswa dengan instansi yang menaungi mahasiswa dalam menyelenggarakan pendidikan. Layaknya hubungan antara warga negara dengan negara, mahasiswa dan jurusan (istilah untuk menyebut instansi yang menaungi) seperti memiliki keterkaitan. Ketika negara membuat kebijakan yang harus dipatuhi oleh warga negara, jurusan pun membuat kebijakan yang harus dipatuhi oleh mahasiswanya. Namun istilah yang lebih bersahabat biasa disebut dengan kurikulum jurusan, semacam kebijakan yang dibuat sebagai acuan jalannya proses belajar mengajar di perguruan tinggi. Seperti sebuah kebijakan negara, kebijakan yang dibuat jurusan pun memiliki dampak yang langsung dapat dirasakan mahasiswa ketika kebijakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang diinginkan mahasiswa. Terutama ketika mahasiswa merasa ‘diberatkan’ dengan aturan/kurikulum yang ada.
Nampaknya kita tidak bisa membuat tesis yang menggeneralisir semua pihak, baik itu mahasiswa, ketua jurusan, maupun dosen yang mengajar mahasiswa. Mahasiswa sebagai aktor yang melakukan proses belajar menjadi pihak penentu karena kurikulum dibuat dengan acuan mahasiswa secara umum. Artinya, idealnya mahasiswa lah yang menjadi acuan pembuatan kurikulum jurusan. Bukan berarti mengacu pada mahasiswa yang secara akademik pintar atau pun tidak pintar. Atau mahasiswa yang aktif di organisasi maupun yang tidak berorganisasi. Inilah yang menyebabkan mispersepsi antara mahasiswa dengan kebijakan yang dibuat. Dalam hal ini dosen sangat berperan penting, juga dengan ketua jurusan. Ketika jurusan mendesain kurikulum yang tentu saja acuan utamanya adalah dari Dikti, namun kurikulum juga harus memperhatikan mahasiswanya. Kalau pun toh memang yang membuat kurikulum penyesuaiannya sudah disesuaikan dengan keadaan mahasiswa secara umum, bagaimana pun juga mahasiswa harus menyanggupi dan melaksanakan pendidikan sesuai dengan kurikulum yang telah dibuat. Nah di sini lah letak keanehannya. Ketika kurikulum menuntut mahasiswa untuk memiliki nilai akademik yang baik, secara soft skill tidak ada penyediaan sarana dalam kurikulum. Dari dulu yang terjadi adalah dosen mengatakan bahwa kuliah hanyalah sebagian kecil proses belajar di peguruan tinggi yang berguna untuk membekali mahasiswa secara hard skill. Lalu, untuk menguasai soft skill, mahasiswa dianjurkan untuk mengikuti berbagai organisasi yang ada di kampus untuk menambah pengalaman serta melatih softskill. Ketika hal itu dilakukan sampai sekarang, yang ada justru banyak mahasiswa yang lulus perguruan tinggi tidak dalam jangka waktu yang normal. Artinya, jika untuk jenjang S1 butuh waktu normal 4 tahun, maka banyak mahasiswa yang aktif di organisasi justru lulusnya lebih dari 4 tahun. Bisa 5 tahun atau bahkan sampai 7 tahun. Menurut saya, ini menjadi hal yang ironis. Jika kurikulum menganjurkan mahasiswa untuk lebih baik lagi dalam persoalan kuliah, dosen pun yang notabene nya pernah menjadi mahasiswa menuntut aktif mahasiswa dalam berorganisasi. Artinya di sini ada tuntutan yang diberikan lebih kepada mahasiswa. Memang banyak mahasiswa yang bisa lulus dengan waktu yang normal dengan menguasai pengalaman organisasi, tapi apakah sedikit mahasiswa yang lulus tidak normal dengan indeks prestasi yang baik?Barangkali ini yang mungkin bisa saja menjadi masalah utama mengapa lulusan perguruan tinggi tidak berkualitas, sehingga ketika lulus sarjana justru yang ada hanyalah pengangguran berjama’ah.
Kembali lagi ke persoalan kurikulum. Ketika mahasiswa tingkat akhir dituntut untuk segera menyelesaikan tugas akhirnya, dosen pembimbing justru menjadi sangat sulit ditemui. Padahal, seberapa mudah intensitas bertemu antara dosen pembimbing dan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir akan mempengaruhi seberapa lama mahasiswa itu dalam menyelesaikan tugas akhirnya. Tentunya dengan proses interaksi bimbingan yang baik pula serta kemauan mahasiswa untuk mengerjakan tugas akhirnya.
Lagi, ini yang menurut saya sangat lucu terjadi. Ketika banyak mahasiswa yang menamakan dirinya aktivis, sering melakukan aksi demonstrasi bahkan sekalipun polisi bersenjata akan dilawan, malah justru mahasiswa takut dengan dosen jurusannya. Ada ungkapan lucu seperti ini:
“Dosen itu takut kepada dekan. Dekan takut sama rektor. Rektor takut sama menteri. Lah menterinya takut sama presiden. Presidennya takut sama mahasiswa. Lah malah mahasiswa takut sama dosen”.
Jadi sebenarnya siapa yang paling berkuasa dalam kampus itu ketika ada ‘rantai makanan’ seperti itu. Yang terjadi adalah ketika pemerintah membuat sebuah kebijakan, katakanlah tentang naiknya BBM. Mahasiswa banyak yang melakukan aksi demo. Dengan berbekal semangat revolusioner membela kaum lemah (katanya), mahasiswa rela berdarah-darah bentrok dengan aparat keamanan. Tetapi ketika mahasiswa harus berhadapan dengan dosen malah takut. Mari kita lihat ketika kurikulum jurusan memberatkan mahasiswa, apakah mahasiswa berani berdemo kepada jurusan/fakultas? Pernah saya jumpai ketika mahasiswa berdemo di sebuah fakultas atas kebijakan yang dibuat fakultas mengenai pembangunan dan sistem pembayaran kuliah. Dengan berbekal label aktivis, mahasiswa mendemo fakultasnya. Tetapi, ketika sistem perkuliahan amburadul yang justru langsung dampaknya dirasakan oleh mahasiswa yang belajar itu malah tidak didemo. Takutkah dengan nilai yang diberikan dosen? Padahal kalau kampus sampai dibakar pun dosen tidak bisa memberikan nilai. Hehe piss (just kiding).
Tanpa bermaksud menjelek-jelekan pihak mana pun, tulisan ini saya buat hanya sebagai refleksi bagi semua kalangan, baik itu mahasiswa, dosen, kepala jurusan, pejabat universitas, maupun orang tua yang anaknya sedang kuliah. Bahwa masing-masing dari setiap diri kita harus melakukan evaluasi terhadap apa yang telah kita lakukan. Dosen dan pejabat kampus harus satu pandangan dong, ketika menuntut mahasiswanya menguasai hard skill, sarana untuk pengembangan soft skill juga harus dipikirkan tanpa harus mengganggu proses studi mahasiswanya. Yang ada kan sekarang banyak mahasiswa yang terkekang dengan slogan berorganisasi tidak mesti indeks prestasinya jelek, tetapi kenyataannya lebih sering ketika orang berorganisasi indeks prestasinya tidak berbanding lurus dengan keaktifannya di organisasi. Untuk mahasiswa sendiri, nampaknya bahasa yang digunakan sekaliber macam bahasa filsuf zaman dulu menjadi tamparan bagi diri mahasiswa. Ketika kritik yang diberikan kepada pemerintah atas kebijakan yang dibuat begitu pedas, sadarkah bahwa di level jurusan anda sendiri yang merupakan tempat anda kuliah juga memiliki problem kebijakan, sadarkah? Kenapa tidak didemo? Jangan selalu mengidentikkan dengan Zaman Orde Baru yang mengekang mahasiswa untuk di kampus saja belajar tanpa harus berorganisasi. Toh sekarang zamannya sudah reformasi, sudah ada kebebasan berserikat. Tidak ada yang melarang kita untuk berorganisasi selagi organisasi kita tidak melanggar Undang-undang. Tetapi ingat dong, ketika kita menyebut diri kita adalah para pengabdi bangsa, prestasi juga diperhatikan. Karena Indonesia tidak butuh orang yang berpendidikan tapi minus kesadaran. Indonesia butuh orang sadar yang berpendidikan. Ya, sadar bahwa kita adalah manusia, tugasnya mencari ilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H