Inilah yang ada pada poin kedua yang menurut saya menarik. Yaitu adanya pertentangan antara Sudrun dengan dirinya sendiri. Dengan kemampuannya untuk berbicara dengan dirinya dalam bentuk lain, seperti interaksi di alam bawah sadar, seringkali Sudrun harus memilih satu atau beberapa hal yang krusial dalam hidupnya. Ketika harus meninggalkan perempuan yang dicintainya.Â
Ketika hijrah ke India dan bertemu dengan banyak karakter orang dengan latar belakang keyakinan spiritual dan pemahaman agama yang berbeda-beda. Pernah pada suatu waktu, di dalam pedalaman jiwanya, Sudrun bertemu dengan sosok yang mengaku dirinya adalah pengejawantahan Tuhan.Â
Di situ Sudrun hampir saja percaya, tetapi karena sudah terbiasa kritis dengan pertentangan-pertentangan yang biasa dia temui di pedalaman jiwanya, Sudrun pun akhirnya tidak percaya kepada sosok tersebut. Apalagi, hidup di India yang notabene bukan tempat asal Sudrun, bertemu dengan banyak orang yang kabur sekali batas antara baik dan buruknya. Yang paling bertentangan dengan diri Sudrun adalah ketika momen di akhir cerita pada saat Sudrun harus berpura-pura menjadi suami seorang perempuan yang pada akhirnya mereka berpisah dengan baik-baik. Dan seperti biasa, Sudrun pun pergi seperti memang sudah menjadi hakikatnya untuk menjadi pengembara.
Hal ketiga yang saya simpulkan dari novel tersebut adalah uniknya pemberian judul yang sangat sederhana. Ada 17 bab yang mana setiap bab hanya diberi nama sesuai dengan angka dari bab tersebut.Â
Bab 1 dengan judul Satu. Bab 2 dengan judul 2, begitu seterusnya sampai bab 17. Kekurangan dari novel ini adalah gaya penulisan yang kurang indah ketika ada banyak kalimat, kata-kata, atau istilah yang ditulis dengan huruf kapital semua.Â
Menurut saya, itu kurang estetis apabila dalam sebuah kalimat di tengah-tengah paragraf yang agak panjang ditulis dengan menggunakan huruf kapital semua. Ada juga halaman yang hilang satu lembar di bagian pengantar, sehingga tidak semua bagian bisa terbaca lengkap.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan novel tersebut, substansi cerita mengingatkan kita bahwa sosok iblis yang sering dibicarakan oleh banyak orang tidak selalu berbentuk menyeramkan seperti yang biasa kita lihat. Iblis bersemayam di dalam jiwa dari setiap masing-masing manusia. iblis bisa menjelma ke dalam diri kita dan mengaku-ngaku bahwa dia (iblis) adalah wujud dari jiwa kita. Di saat itulah kita dihadapkan oleh pertentangan antar yang baik dengan yang buruk, antara kita dengan diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H