Mohon tunggu...
Fahri Huseinsyah
Fahri Huseinsyah Mohon Tunggu... Staf Kedutaan Pakistan -

Staf Kedutaan Pakistan Jakarta Pejuang - Pemikir Tertarik : Organisasi Kepemudaan, Politik Domestik & Internasional

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hantu Pemikiran Kiri (I)

29 Desember 2012   16:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:50 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak sekali orang yang secara serampangan mengkerdilkan konsepsi Marx dengan asal mengutip, padahal belum tahu secara detail mengapa, kapan dan bagaimana latar belakang kaimat tersebut diutarakan, dan konteks yang digunakan. Kalimat yang biasanya bernada “agama adalah candu”, sebenarnya hanya secuplik dalam sebuah paragraph yang padu.

Kerangka inti pemikiran “kiri”

Mari kita mulai, ketidaktahuan terhadap kajian tajam yang dilakukan oleh Marx, dan juga makna dari konteks “candu” disini, sehingga dapat disimpulkan bahwa penggalan kata tersebut sesungguhnya hanya dekonstruksi makna. Marx melihat agama pada realitas keyakinan Kristiani di Eropa saat itu, dan menyimpulkan bahwa agama sebagia konsepsi abstrak, mengapa demikian? Karena Kristen meski sudah terlepas dari dominasi gereja, tetapi sebagai sebuah pegangan bagi penganutnya, agama diposisikan sebagai pemilik legitimasi penuh atas corong kekuasaan di seluruh dataran Eropa. Sehingga agama ibarat dua sisi mata pisau, yakni sebagai alat legitimasi kekuasaan, namun di sisi lain agama mengakomodir perjuangan suci untuk menentang ketidakadilan dan kemapanan.

Lebih jauh lagi, Engels mengembangkan arah jalur pemikiran “kiri” dengan cara mencari persamaan dalam kaitan antara agama dan sosialisme.   didapati kesamaan yang dapat dilihat dari massa pendukung masing-masing gerakan ini. perspektif yang digunakan Engel mengacu kepada skema masyarakat yang juga digunakan oleh Marx, yakni Eropa abad 19. Antara Kristen Ortodoks dengan kaum Marxis memiliki kesamaan haluan, yakni sama-sama memperjuangkan perlawanan kaum tertindas dan mencoba melepaskan diri dengan oembebasan dari bentuk penderitaan. Hanya saja ajaran Kristen menitikberatkan penderitaan yang harus dialami sebagai jalan lapang menuju pembebasan di akhirat, sedangkan sosialisme sendiri bertujuan untuk melepaskan belenggu penderitaan demi pembebasan hakikat hidup orang tertindas yang merupakan mayoritas.

Sedangkan generasi Marxist selanjutnya, yakni Vladimir Lenin, menjadikan dikotomi antara agama dengan kekuasaan, sebagai seorang sekuleris, penggunaan konsep Marxisme olehnya tidak lagi dijelskan dalam eksplanasi yang masih berupa konsepsi abstrak, melainkan langsung terarah kepada sebuah konsep yang bersifat elitis, karena kaitanya dengan mengatur pemerintahan sebagai ekses kekuasaan untuk sarana legitimasi marxisme itu sendiri. Sinisme Lenin adalah apabila elaborasi (kembali) antara agama dengan kekuasaan bermula pada era Tsar yang lalu, dimana selama berabad-abad eksistensi kekuasaan bersembunyi dibalik bayang-bayang agama sebagai sarana kooptasi dalam mempertahankan sistem feodalisme di pedesaan.

Seperti yang terjadi di Eropa lainya, bahwa agama Kristen tidak lagi murni sebagai ungkapan protes kaum tertindas, namun tidak lain sebagai alat legitimasi untuk memperkuat eksistensi Tsar yang mendasari sistem feodalistik secara berkepanjangan. Karena perasaan traumatic tersebut, maka Lenin secara tegas mendiskreditkan posisi agama sebagai ranah yang berbeda terhadap lingkup kekuasaan itu sendiri. Dengan asumsi bahwa ranah relijiusitas dipisahkan ke dalam hal-hal yang menjadi persoalan pribadi

Marxisme, sebuah perlawanan

Eksploitasi sebagian besar masyarakat Eropa oleh sebagian kecil golongan, yang kemudian mencitapakan jurang yang sangat lebar antara kaum pekerja dan pemilik modal, memberi celah bagi adanya sebuah konsepsi dasar yang diposisikan diri sebagai antagonis dari status quo yang berlaku pada saat itu. Kapitalisme yang membuat sistem ekonomi masyarakat tidak bisa dinikmati oleh semua orang, melainkan hanya dimiliki oleh sebagian kecil golongan, dilihat sebagai bentuk ketidakadilan dari hak-hak hidup manusia yang menuntut kesetaraan. Tidak dapat dipungkiri bahwa Kapitalisme menjaga jarak bagi terciptanya kesetaraan, sehingga ketika ada segolongan kecil yang mendapat tempat dalam strata, maka secara otomatis dan tidak dapat disangkal lagi secara bersamaan segolongan mapan ini memerlukan golongan lain untuk menopang keberadaanya ini. Sayang, perilaku ini sungguh tidak baik karena kapitalisme memberi celah yang sangat lebar dan tidak menyediakan akses bagi tercapainya kesejahteraan bersama.

Sehingga dari sini, pemikiran bahwa Kapitalisme merupakan inti dari penderitaan dan perasaan keterjajahan yang banyak dialami, mulai muncul dan menguat. Pemikiran tentang Marxist bersumber awalnya dari Hegelian yang sama-sama berangkat dari realitas ini. Marxisme muncul sebagai reaksi dari dominasi Kapitalisme dalam tataran sistemik. Marxisme percaya bahwa dunia tetap akan terus tersegmentasi selama segolongan elitis dengan segala legitimasinya masih tetap diberi ruang untuk berkuasa dan bertahan. Sehingga untuk menjegal kemungkinan kontinuitas golongan tidak adil ini, dibutuhkan sebuah upaya penggulingan dengan cara-cara keras yang lebih mengarah kepada radikalisme. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara melakukan sebuah pergerakan revolusioner, guna mengalahkan status quo yang berlaku dan menciptakan sebuah kondisi tanpa kelas-kelas sosial, karena kelas-kelas tersebut diyakini sebagia sebuah batasan mutlak yang mengekang manusia menuju kesejahteraan.

-sebuah rekontruksi pemikiran salah seorang aktivis PRD

Surabaya, 29-12-2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun