Krisis Eropa yang menerpa hampir seluruh negara di benua biru, telah membuka keseluruhan respon positif yang selama ini telah terbangun, pencitraan seolah-olah Eropa sangatlah digdaya. Fakta yang ada memperlihatkan bahwa negara yang secara tolak ukur dikatakan maju dan hampir sempurna pun mudah sekali goyah. Situasi ekonomi yang makin tidak menentu, harus memaksa Eropa melakukan tindakan responsif. Ini bukanlah inisiatif yang didasarkan pada solidaritas, sama sekali bukan, melainkan konstelasi di satu negara eropa apabila goyah atau bahkan kolaps akan memiliki implikasi pengaruh yang sama besar terhadap negara sekitarnya. Nasib Yunani sedang diujung tanduk, karena mengalami pailit yang disebabkan oleh kredit macet serta defisit perbankan di negara tersebut. Ketika kemudian dampak Krisis Eropa menyebar luas ke seluruh penjuru dunia, hal tersebut untungnya tidak berlaku bagi Indonesia, karena kekuatan ekonomi sebuah negara tidak hanya ditentukan oleh nerara perdangangan lewat mekanisme ekspor-impor, namun juga terutama terletak di ekonomi domestik, pada kasus ini Indonesia boleh jadi terselamatkan berkat stabilnya ekonomi domestik yang menunjang konsistensi pertumbuhan ekonomi sebesar 6% setiap tahunya. Tanpa disadari, terdapat aktor yang secara tidak langsung tidak terlibat, namun pengaruhnya menghasilkan efek yang positif, yaitu kelas menengah. Alasan sesungguhnya mengapa negara eropa, yang terlalu dicap sebagai negara yang digdaya lewat kekuatan peradaban dan teknologinya, dengan mudahnya digoyahkan dengan pengaruh krisis yang sebetulnya lebih kepada dampak ketimbang krisis yang terjadi secara internal.
Indonesia resisten dari Krisis Eropa
Sebagai negara beracuan ekonomi kapitalis, negara di Eropa menjadikan arus permodalan sebagai bekal utama di dalam fungsinya sebagai stimulan aktivitas ekonomi. Antara lain arus impor-ekspor yang menjadikan mobilitas barang hanya tempat singgah, sehingga tidak ada penopang secara domestik yang menentukan arus ekonomi domestik. Terutama kita selama ini melihat negara Eropa selalu dari segi kejayaan dan kebesaran namanya. Padahal dibalik itu,kekuatan Eropa sebetulnya terletak pada relasi mekanisme perdagangan bebas dengan negara sesamanya.Arus modalyang deras memang seringkali menjadi keuntungan tersendiri bagi negara maju di dalam mengembangkan ekspansi dan memperluas pengaruh. Tetapi justru dapat menjadi bencana apabila ketidakstabilan akibat gejolak tertentu pada sebuah negara malah memunculkan. Pergerakan dan pertumbuhan masyarakat kelas menengah perlahan mulai mencuat ke permukaan, membludak hingga mencapai angka sekitar 90 juta. Dengan kata lain, sumbangsih kelas menengah menyumbang sangat besar dalam prosentase grafik ekonomi nasional sebenarnya. Ibarat sebuah efek domino, pertambahan pendapatan penduduk berimplikasi pada naiknya tingkat konsumsi yang diimbangi oleh kestabilan harga kebutuhan logistik di pasar. Pada titik ini tanpa disadari, karena keberadaan kelas menengah dalam kuantitas yang teramat besar, telah membuat Indonesia mampu bertahan dan resisten tanpa harus terdampak oleh krisis global yang melanda Eropa beberapa bulan belakangan ini.
Keberadaan kelas menengah, keuntungan tersendiri
Dalam teori ekonomi dijelaskan mengenai kecenderungan alamiah manusia, yaitu semakin tingginya pendapatan maka akan mempengaruhi meningkatnya tingkat konsumsi. Dan tren positif kelas menengah adalah identik dengan konsumsi yang berlebih. Kebiasaan masyarakat yang rata-rata konsumtif, termasuk daya beli yang dapat dikatakan tinggi. Pola-pola semacam ini yang pada akhirnya dilirik sebagai keuntungan tersendiri bagi perusahaan besar. Banyak perusahan dunia yang menyasar Indonesia karena melihat Indonesia sebagai pangsa pasar yang prospektif. Betapa tidak? Khususnya yang sudah terlihat jelas yaitu nampak pada perusahaan multinasional yang secara agresif melakukan ekspansi produk lewat iklan secara masif, yang kemudian ditindaklanjuti dengan upaya membuka pabrikan di kawasan industry tertentu, itu sudah cukup membuktikan jika memang Indonesia cukup menjanjikan bagi keberlangsungan korporasi raksasa. Jika dengan jumlah sebanyak 240 juta masyarakat Indonesia saja korporasi besar sudah memperhitungkan signifikasi kekuatan pasar yang sangat potensial, ditambah lagi pertambahan kelas menengah yang menandakan semakin sehatnya kondisi ekonomi bangsa.
Berkembangnya konsumerisme berdampak baik
Secara struktur, masyarakat kelas menengah diposisikan sebagai entitas yang keberadaanya tidaklah tetap, maksudnya, terdapat kemungkinan untuk terus menanjak naik sampai tingkat kemakmuranya semakin meningkat dan menjadi golongan kaya baru, atau malah jautuh tergelincir menjadi kalangan ekonomi bawah. Sebab potensi akan kemungkinan fluktuasi dalam kelas menengah sangatlah besar. Kelas menengah jika diamati secara lebih lanjut, didominasi oleh karyawan pabrik, pegawai swasta, PNS sampai pengusaha skala kecil, dan sejumlah bagian lain. Sebagian,dengan standar gaji yang dapat dikatakan masih dekat dengan standar minimal, misalkan buruh yang “hanya” mendapat bagian UMR, dan secara umum pekerja pabrik paling kedapatan insensif tambahan dari uang lembur. Dengan ukuran gaji standar tersebut, bukanya tidak mungkin secara tingkat kesejahteraan belum dapat dikatakan makmur. Namun berkaca pada realita kekinian, gejala yang menunjukan bahwa kelas ekonomi menengah mengalami degradasi malah tidak tampak, justru, tren positif dapat dilihat dari perkembangan pesar jumlah kelas menengah setiap tahunya. Dalam tolak ukur perekonomian nasional, pertambahan secara kuantitatif masyarakat kelas menengah memberi penjelasan bahwa sesungguhnya Indonesia sedang mengalami progresivitas yang luar biasa, dimana memperlihatkan tanda-tanda stabilitas di bidang perekonomian. Tumbur subur dan berkembangnya ekonomi domestik, tidak terlepas ditopang oleh menjamurnya berbagai macam ritel penjualan, yang diikuti oleh peningkatan taraf hidup masyarakat lewat pendapatan. Seperti contoh, hampir di setiap kota, terutama kota metropolis, telah muncul gerai-gerai yang menjual barang dengan merk terkenal, dan dalam hal ini eksistensi mereka tetap terjaga karena pangsa pasar untuk barang-barang seperti itu tetap akan ada peminatnya tersendiri, hal yang tanpa diperhitungkan sebelumnya telah mengindikasikan bahwa tingkat pendapatan telah banyak menyumbang bagi hidupnya berbagai sektor ekonomi kecil. Sehingga oleh karena itu, mulai dari barang elektronik, kebutuhan pangan sampai aksesoris semuanya rata-rata tetap bertahan bahkan intensitasnya terus meningkat secara kurva penjualan karena hampir masing-masing bagian tersebut ditunjang oleh keberadaan segmen-segmen masyarakat tertentu, dalam hal ini tentu kelas menengah mengambil peranan penting dalam momentum ini.
Harapan Indonesia ke depan
Tingkat konsumsi yang dikenal tinggi, agaknya telah memancing inisiatif perusahaan dunia untuk bersaing memperebutkan pangsa pasar domestic Indonesia yang dikenal sangat kondusif dan prospektif. Bukanya tidak mungkin, seperti yang diutarakan Dahlan Iskan (Menteri BUMN) pada salah satu sesi kuliah umum di Aceh, pada 2027 kelak Indonesia akan mampu melesat menjadi salah satu negara maju dengan pendapatan per kapita diatas Sembilan ribu USD (Jawa Pos,edisi 3 September 2012). Momentum keberhasilan ini seharusnya dapat menjadi pukulan telak bagi pihak-pihak yang selama ini telah memberikan stigma bahwa Indonesia adalah negara gagal. Perlahan tapi pasti, kebangkitan ekonomi Indonesia akan dimulai dari sektor domestik sebagai patron utama, dengan dimotori oleh pertumbuhan kelas menengah yang secara ekspansif tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu yang berperan penting dalam progres bagi perekonomian dalam skala nasional.
Ahmad Fahri Huseinsyah
Deputi Kajian Eksternal Kebijakan Publik BEM UNAIR
Mahasiswa FISIP Universitas Airlangga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H