Sudah satu bulan lebih kira-kira sejak note terakhir saya #SeputarPilpres#1 dihttps://www.facebook.com/notes/ahmad-fahri-huseinsyah/seputar-pilpres-1/10152996477922222
, tidak ada maksud apa-apa. Saya hanya menuliskan beberapa pengalaman dan kondisi yang terjadi di sekitar saya seputar yang saya alami.
Kurang lebih pada tanggal ini, bulan yang lalu. Saya diundang oleh salah seorang senior organisasi datang di salah satu markas tim pemenangan. Oh ya, saat itu bertepatan dengan jadwal Debat Capres yang kebetulan
diadakan Nobar di tempat saya datang. Malam itu di markas salah satu tim pemenangan, dalam kerumunan massa saya mengenali beberapa diantaranya, mulai dari mantan petinggi organisasi tingkat jatim, beberapa alumni Unair, pengusaha,dan beberapa alumni eksekutif mahasiswa, tidak usah saya sebutkan untuk melindungi privasi. Pun ternyata ada juga beberapa mahasiswa Unair yang saya kenal, untungnya, diam-diam datang untuk memenuhi panggilan nonton bareng. Kebetulan saya mengambil duduk di paling depan bersama beberapa kenalan senior fakultas. Yang kebetulan dilibatkan sebagai salah satu timses. Sambil nonton, disebelah saya saat itu sedang duduk mas Andi Matalitti, putra dari La Nyala Matalitti, petinggi Pemuda Pancasila. Yang tersohor sebagai salah satu tim pemenangan Pakde Karwo di Pilgub kemarin. Kusuk-kusuk terjadi pembicaraan, soal strategi kampanye yang bernuansa netral tetapi efektif. Yang segera saja kurang lebih dari seminggu, ruang-ruang baliho di Surabaya banyak dipenuhi oleh kreasi dari tim kreatif tersebut, persis seperti pembicaraan yang saya dengar.
Pengamatan dari saya.
Yang pertama, Namanya juga markas salah satu tim pemenangan. Wajar halnya apabila situasi yang diciptakan diarahkan untuk satu calon saja, sekaligus menjelek-jelekkan yang satunya. Banyak cemoohan, dan kalimat-kalimat sarkas bahkan kalimat kotor keluar dari beberapa penonton di dekat saya, sebut saja mawar. Yang saya inginkan adalah ajang fair play , dimana satu sama lain saling berusaha menilai objektif. Tapi tidak mungkin, mereka kerumunan yang seragam. Seandainya Pilpres itu Cuma satu calon, mungkin tidak usah ada saling cerca saling maki.
Yang kedua, ternyata ada juga, yang dahulu semasa mahasiswanya koar-koar atas nama gerakan mahasiswa, idealisme , independen, terlebih telah lama kurang lebih diatas 2 tahun di organisasi eksekutif tingkat univ. setelah itu berakhir menjadi tim sukses. Tidak sukses prosesnya di kampus, telah lama menghilang dair peredaran kampus juga, tetiba muncul dan menceper sebagai salah satu bagian dari tim sukses. Untung public tidak banyak yang tahu. Jika membandingkan betapa prestos dan kerenya dulu semasa jadi eksekutif kampus, dengan kondisi sekarang yang terlibat sebagai relawan? Itu artinya organisasi tidak menjanjikan kemapanan karir jika tidka dimulai dari diri sendiri. Hidup adalah pilihan, selama pilihan yang diambil memiliki alas an dan peritmbangan yang rasional. Tetapi bagi saya, keputusan tersebut lebih konkrit karena garis kerjanya jelas. Toh, tidak sedikit juga kawan-kawan saya yang lain yang terlibat dalam hal-hal praktis semasa mahasiswanya.
Ketiga, yang mengambil keuntungan dari Pilpres ini adalah pihak-pihak yang strategis dan cerdik. Arus pembicaraan dalam skala apapun sedang intens tentang Pilpres. Mari mengapresiasi hal tersebut sebagai salah satu proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Ada bagian yang kelihatanya tidak ada gerak-gerik dan andilnya sama sekali, tetapi bisa saja justru dia sebagai salah satu patron pengawalan dari pesta demokrasi kemarin. Peranan sebagai pengawas berlangsungnya pelaksanaan pemilu kemudian menjadi match dengan posisinya sebagai agent of change, mahasiswa. Ketimbang yang duduk diam mengamati dari media massa, tetapi tidak melakukan apa-apa. Ya, ketimbang They do nothing gain nothing.
Keempat. Pengamat dadakan. Ya ini yang paling saya kagum dari Pilpres kemarin, mendadak dangdut! Eh salah, mendadak Pilpres. Sebagai animo, Pilpres kemudian dihayati sebagai ajang memberi penilaian, mengkritisi bisa juga saling menghakimi satu sama lain. ya, anggap saja argument saya paling benar dan anda itu yang salah. Saling merasa benar sendiri. Dirasa dirinya lah yang paling berjasa untuk nusa, bangsa dan Capres. Mari kita melihat ini sebagai budaya politik parochial. Budaya politik yang paling rendah. Sporadis, tradisional. Seperti gelombang air bah. Datang dan menyapu semuanya kemudian hilang sekenanya tidak ada sisa. Ya. Sekarang ada bukti kalau Pilpres tetap disikapi, dikomentari seperti sedia kala beberapa minggu kemarin? Saya rasa tidak. Pengamatan terhadap kondisi sosial dilihatnya sebagai hal yang paling-paling pinggir. Pengamat politik dadakan, saya suka dengan kawan saya bersepakat menggunakan frasa kata tersebut. Hehe yang membuat saya gedek itu sebenarnya para ultras, para fanatis capres tertentu. Kok bisa-bisanya segala kebaikan dijadikan alat untuk dasarnya untuk membenarkan akan segala hal. Sampai-sampai kesalahan bukan jadi halangan untuk terus berkampanye mati-matian dan merasa paling benar. Padahal dibayar tidak, direkrut juga tidak. Simpatisan yang tidak diharapkan, tapi menguntungkan untuk pihak yang didukung. Tetapi heranya, setelah Pilpres mereka ini menghilang jauh dari sisi. Inikah sisi gelapmu? Seolah-olah kehidupan politik hanya pada saat Pilpres. Seperti hilang tidak punya arah. Oleh karena itu pendidikan idelogisasi menjadi penting semenjak mahasiswa. Akan tetapi, penghargaan sebesar-besarnya bagi siapa saja mereka yang sudah mau peduli terhadap keadaan bangsanya, dan belajar untuk peka terhadap keadaan sosial. Meski di sisi yang tidak Nampak, ada beberapa krucil-krucil mahasiswa yang sedang bekerja untuk partainya. Bekerja untuk rakyat hehe.
kelima. Pilpres ini menjadi pertaruhan yang sengit antara jaringan birokrasi, media, elit-elit dan massa. Diatas semuanya tetap kepentingan yang merupakan nilai perekat. Elit-elit dan massa ternyata adalah variable yang saling terkait, bukan untuk saling mendominasi dan mengalahkan diantara masing-masing. 2 capres kalau teman saya membandingkan adalah pertarungan diantara dua perspektif. Kubu pertama menang di elit, dan kubu kedua menang di akar rumput. Kubu pertama dibaca di public sebagai koalisi besar yang merangkul setiap elemen kelompok kepentingan dengan tujuan untuk akomodasi, koalisi para elit-elit. Sedangkan kubu yang kedua lebih terlihat sebagai gerakan yang berasal dari “rakyat”. Padahal tidak selamanya benar, masing-masing kubu punya basis elit, dan basis massa. Yang jelas, Pilpres selalu menjaid ajang pembuktian sampai sejauh mana skema figure berpengaruh terhadap prefensi pilihan public dan merupakan perbandingan dari efektivitas antara skema figure dan mesin Partai Politik.
Keenam Media. Media massa sangat berperan dalam mebentuk dan mengarahkan opini public. Terutama karena kalangan menengah di Indonesia sebagian besar sudah melek IT. Jadi akses informasi sudah dapat lebih mudah untuk diperoleh. Juga media sosial. Betapa media-media ini sangat punya andil untuk menggiring opini massa tentang isu-isu tertentu. Isu Pilpres kemarin indikasi ini semakin menguat. Betapa terombang-ambingnya opini publik. Persepsi yang dibangun kenyataanya adalah buah konstruksi dari media. Tanpa stance yang jelas, penginfoan media diserap sebagai sebenar-benarnya informasi, menurutnya itu rasional tetapi sebenarnya, relativisme yang digaung-gaungkan terus menerus kelak akan menjadi persepsi yang membenarkan informasi tersebut, Sebagaimana doktrin media. Yang pada akhirnya media melahirkan perang persepsi antara setiap orang, yang berakibat debat kusir, yang sebenarnya tidak perlu. Cukup mencermati dan mengomentari secukupnya saja lah. Tidak berlebihan. Berlomba-lomba agar terlihat kritis dan pandai. Akhirnya intensi untuk menilai bisa jadi berbuah menjadi justifikasi dan penilian yang berlebihan kepada yang lain.
Yang terakhir, Pilpres merupakan ujian untuk mengukur seberaoa jauh pemahaman kita terhadap kondisi sosial, dengan berkaca dan menggunakan sudut keilmuan kita masing-masing. Akan tetapi, yang menjadi ruang yang sedemikian jelas, adalah pemahaman kita tentang kebangsaan dan nasionalisme serta hal-hal ideologis lainya. Saya sangat heran dengan kawan-kawan yang justru semakin antusias ketika tahu kubunya diapresiasi orang luar (asing). Apakah ini hasil didikan dari pelajaran yang selalu mengagung-agungkan dan meninggikan nilai global ala barat. Segala yang berbau luar negeri sepertinya selalu keren, dan precious ketimbang hal yang sifanya lokal. Betapa mudahnya dukungan itu menguat, ketika ada jurnalis asing yang menilai salah satu poin yang ada kaitanya dengan Pilpres dan tokoh. Betapa mudahnya simpati itu datang, justru ketika ada artis-artis asing yang member dukungan. Tidak banyak yang mencemooh tentang hal-hal yang justru mengancam lewat intervensi secara halus. Dukungan asing, berarti ada apa-apanya dibalik itu. Harusnya mahasiswa tidak naïf. Dan tidak membulatkan persoalan yang sebenarnya sudah ketemu jawaban dan masalah yang sudah clear. Mungkin bangsa ini sudah tidak ingat lagi sejarah, bahwa yang menyebabkan penjajahan berlangsung selama 3,5 abad adalah karena adanya adu domba oleh asing antara kekuatan-kekuatan lokal yang ada. Terlalu terbukanya bangsa ini, sampai-sampai tidak bisa membedakan, mana kawan mana lawan.bahkan yang mengherankan, ada sebagian akademisi yang memberi penilaian wajar ketika saat-saat Pilpres seperti ini, beberapa gerakan separatisme Indonesia di luar negeri mencuat kembali untuk mencari atensi publik. Apakah HAM sebagai kedaulatan individu kemudian menafikan entitas dan kedaulatan suatu Negara? Apakah sudah sedemikian rupa nilai-nilai Barat menggugurkan kebanggaan dan semangat untuk memanifestasikan nilai kearifan lokal?
Demikian, mari nikmati demokrasi kita J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H