Martin van Bruinessen, seorang Profesor Emeritus di Universitas Utrecht, Belanda, lahir pada 10 Juli 1946, dan saat ini berusia 77 tahun. Meski usianya cukup lanjut, produktivitas akademiknya tetap mengesankan. Hal ini tercermin dalam seminar yang baru-baru ini diisinya di ajang Summer School UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Martin dikenal sebagai seorang antropolog, orientalis, dan penulis asal Belanda, dengan fokus kajian pada wilayah-wilayah Islam seperti Kurdi, Turki, Indonesia, dan Iran. Ia juga pernah mengajar di empat negara, yaitu Indonesia, Jerman, Singapura, dan Turki.
Keterkaitan Martin dengan Indonesia terlihat jelas dari penelitian-penelitiannya yang berfokus pada Islam di Indonesia. Ia pernah menjadi dosen tamu di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengajar Sosiologi Agama, dan menjadi konsultan metode penelitian di LIPI. Tulisan ini merupakan refleksi atas presentasinya dalam Summer School tersebut, yang berjudul "The Arabization of Indonesian Islam Contested". Dalam presentasi itu, Martin membahas dinamika Arabisasi di Indonesia dengan pendekatan historis dan analitis yang khas.
Martin memulai dengan fakta sejarah bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke-14 melalui Ibnu Batutah, dengan wilayah penyebaran awal di pesisir Sumatra, tepatnya Samudra Pasai. Pada abad ke-13 dan ke-14, penyebaran Islam di Indonesia melibatkan pendakwah dari luar negeri, termasuk Muslim dari Cina Selatan yang bermigrasi ke Indonesia. Namun, sejak abad ke-16, penyebaran Islam mulai dilakukan oleh masyarakat lokal. Tradisi ini ditandai dengan pengiriman pemuda Indonesia untuk belajar agama di Mekah dan Madinah, seperti yang dilakukan oleh kerajaan Aceh, Banten, Mataram, dan Makassar. Mereka kemudian kembali untuk menyebarkan Islam di tanah air.
Martin juga membahas polarisasi masyarakat Indonesia yang ia istilahkan sebagai The White and The Red, merujuk pada klasifikasi Clifford Geertz tentang kaum santri dan abangan pada abad ke-19. Kaum santri (The White) cenderung lebih religius, sementara kaum abangan (The Red) memiliki keterkaitan yang lebih lemah dengan agama. Gerakan kaum santri sering kali dipengaruhi oleh dakwah Salafi yang menekankan pemurnian ajaran Islam, berlawanan dengan pendekatan sebelumnya yang lebih akomodatif terhadap mistisme dan budaya lokal.
Dalam pembahasannya, Martin mengidentifikasi peran organisasi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dalam mendorong Islamisasi abad ke-20. Organisasi-organisasi ini banyak mengirim kadernya untuk belajar di Timur Tengah, yang berkontribusi pada munculnya gerakan Salafi dan Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Namun, ia juga menekankan bahwa Arabisasi dan Islamisasi adalah dua hal yang berbeda. Arabisasi mengacu pada adopsi elemen budaya Arab dalam kehidupan masyarakat lokal, seperti arsitektur kubah masjid, penggunaan istilah Arab dalam komunikasi, dan perubahan tradisi keagamaan lokal.
Martin menyebut gerakan Salafi sebagai bagian dari proses Arabisasi yang sering kali dianggap radikal. Untuk melawan pengaruh ini, Indonesia mengembangkan konsep "Islam Nusantara" sebagai bentuk perlawanan terhadap Arabisasi. Dengan dukungan resmi pemerintah, Islam Nusantara menekankan harmoni antara Islam dan budaya lokal.
Sebagai kesimpulan, Martin menilai bahwa meskipun Arabisasi memiliki sisi baik dan buruk, penolakan terhadap budaya lokal dalam dakwah Islam merupakan tantangan besar. Namun, umat Islam Indonesia dinilai mampu menghadapi tantangan ini dengan mengedepankan pendekatan yang inklusif dan kontekstual. Pandangan Martin, dengan pendekatan historis yang khas, memberikan wawasan baru dan mencerahkan tentang dinamika Arabisasi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H