"Pikirkan baik-baik, Mad. Ini langkah besar. Reunion ini sekaligus jadi yang terakhir dari operasi kita. Karena setelahnya, aku juga mau ke kota." Timpal Malik yang hanya disamput anggukan Somad sambil berlalu meninggalkannya di teras rumah.
Melihat adanya kemungkinan reuni, Malik bersemangat dan mengundang ketiga karibnya itu untuk datang ke rumahnya pada malam hari. Malik telah menyipakan satu ajakan besar yang tak mungkin mereka tolak.
Malam tiba. Benar saja, Somad, Taqim, dan Rabul datang ke rumah Malik. Disambutnya mereka dengan kopi, dan mulai mengebul-lah ruang tamu dengan sebulan asap rokok dari mulut mereka. Obrolan mulai cair. Mereka bernostalgia dengan masa kejayaan Pasukan Kelelawar.
Tak terasa, waktu menunjuk jam dua belas malam.
"Pak Suhadi" Kata Malik, yang memancing rasa heran teman-temannya. Sontak, dengan kompak mereka mengerutkan dahi.
"Ya, Pak Suhadi. Kita memang nggak pernah maling lagi, tapi kemampuan intel-ku nggak berkurang sama sekali."
"Maksudmu apa sih, Mal?" tanya Rabul penasaran.
"Pak Suhadi, minggu lalu abis jual tanah, Sob. Katanya sih buat nyambut sanak sodara yang dari kota. Tau nggak laku berapa? Dua ratus lima puluh juta! Rencananya, saat anaknya yang dari kota datang, dia bakalan ngasih buat modal usaha. Bayangin, Pak Suhadi udah tua dan tinggal sendiri."
"Aku nggak paham, Mal, apa maksudmu." Rabul masih penasaran.
"Jadi gini, Sob. Aku paham kalian semua hidup susah di kota. Tapi bayangin, duit ratusan juta nunggu kita. Setidaknya, saat sodara kalian kumpul besok, kalian nggak bingung mau ngasih uang berapa."
"Aku sudah berhenti, sob" sambung Taqim dengan keringat dingin.