" Manis Ku Minum Sesak Ku Bagi" mungkin ungkapan tersebut cukup untuk menggambarkan bagaimana Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 yang kemudian di ubah menjadi Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023 pada saat berlaku.
Jika kita telaah lebih dalam regulasi tersebut pada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tercantum lahan pembakaran dibatasi 10 hektare dengan lama waktu pembakaran maksimal 20 menit; lantas ketika musim kemarau, pembakaran hanya bisa dilakukan pagi hari dan saat musim hujan dilakukan pagi dan malam hari, dan harus ada alat baku ukur mutu udara.
Sedangkan pada peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023, terdapat penambahan kalimat "pembakaran dapat dilakukan secara bersamaan"; pasal pertimbangan cuaca dihapus, malah ditambahkan klausul panen tidak mempertimbangkan cuaca lantaran cuaca tak menentu akibat pemanasan global; dan alat baku ukur mutu udara dihapuskan.
Alhamdullilah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Uji materiil dan telah mencabut regulasi tersebut, yang kemudian mendapatkan apresiasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tetapi sayangnya tulisan ini bukan tentang apresiasi ataupun bentuk dari rasa syukur, tulisan ini hanya untuk bagaimana sedihnya mengenang 4 Tahun terakhir yang terjadi di Lampung ketika regulasi tersebut berlaku.
Perjalanan 4 Tahun bukan waktu yang singkat, banyak perubahan besar yang terjadi dalam kurun waktu tersebut. Mungkin jika saya gambarkan 4 Tahun ini menjadi 4 tahun dimana para pengusaha perkebunan tebu keluar masuk bank untuk menarik uang dan para masyarakat keluar masuk Rumah Sakit untuk mengecek kesehatan Paru-parunya.
Mungkin banyak dari pembaca yang bingung mengapa saya menggambarkan hal yang menyedihkan tersebut. Kita buktikan saja, di tahun 2021 seluas 5.469,38 Ha lahan perkebunan tebu terbukti terbakar dari pantauan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang ternyata di temukan titik panasnya berada di lahan 2 Perusahaan Besar Perkebunan Tebu milik PT. Sweet Indo Lampung dan PT. Indo Lampung Perkasa yang berada di Provinsi Lampung.
Jika saja di analogikan 1 Tahun itu 365 Hari, berarti selama 1 hari di tahun 2021 Masyarakat Lampung di sekitar lahan tersebut terdampak asap kebakaran dari lahan seluas 14,98 atau 15 Ha. Sayangnya tidak hanya sampai di situ, di tahun 2023 dan kembali 2 Perusahaan tersebut membakar 14.492,64 Ha. Lahan perkebunan tebu miliknya. Betapa menyedihkannya dampak yang terjadi.
Perjalanan 4 Tahun terakhir menjadi perjalanan yang menyedihkan bagi masyarakat Lampung. Â Sebagaimana seharusnya regulasi hukum yang di buat oleh para Stakeholder menjadi harapan untuk menyejahterakan masyarakat banyak sesuai dengan amanah UUD 1945, malah di buat untuk ajang transaksi dengan para pengusaha supaya dapat duduk di kursi yang megah.
Mungkin saat itu Ibu Pertiwi pun ikut menangis melihat Sang Bumi Ruwa Jurai yang di nahkodai oleh mereka yang tidak bertanggung jawab, tapi apalah daya dia hanya sebuah ungkapan dan kita adalah bentuk nyata yang dapat melihat dan merubah hal tersebut.
Banyak harapan dari kita selaku civil society, yang seharusnya regulasi-regulasi yang tidak pro-terhadap rakyat seperti ini sudah di tangani DPRD pun DPR selaku Dog Watch yang dimiliki oleh rakyat, tapi kenapa malah terkadang mereka memperlancar jalannya regulasi tersebut, saya tidak ingin menuduh hanya saja mungkin mereka sedang lengah atau mungkin tangan mereka sudah di taruh di bawah meja. Who Knows ?
Penulis berharap tulisan ini dapat menjadi informasi sekaligus refleksi kita bersama bahwa kesedihan yang pernah terjadi di 4 tahun terakhir tidak akan pernah terjadi lagi di tahun yang mendatang. Sekian Terima Kasih.